Jakarta - Persaingan baru antara produsen pesawat terbesar dunia Airbus dan Boeing sedang memanas di Indonesia. Hal ini menyusul rampungnya kontrak pemesanan pesawat Airbus oleh Lion Air beberapa waktu lalu.
Sebelumnya perusahaan Eropa kehilangan kontrak untuk menyaingi Amerika Serikat (AS) memperebutkan pasar pesawat Asia Tenggara. Namun kontrak pembelian Lion Air sebesar 18,4 miliar euro atau US$ 23,8 miliar untuk pembelian 234 Airbus, pekan lalu membuat semakin panas perseteruan Airbus dan Boeing.
"Ini adalah kesepakatan besar bagi Airbus karena secara umum Indonesia telah menjadi benteng untuk Boeing," kata analis kedirgantaraan untuk Frost & Sullivan Ravi Madavaram seperti yang dikutip dari AFP, Minggu (24/3/2013)
"Saya pikir saat Airbus masuk ke dalam pasar, sangat lebih murah untuk menginginkan Airbus A320. Kemudian inilah yang menjadi tantangan bagi Boeing untuk mengejar ketertinggalan," sambungnya.
Kontrak Lion Air dengan Airbus untuk A320 yang berlangsung di Paris pekan lalu merupakan kontrak terbesar sepanjang sejarah. Rekor kedua juga ditorehkan oleh Lion Air tahun 2011 dengan nilai US$ 22,4 miliar untuk pesanan 230 pesawat Boeing.
Produsen pesawat Airbus dan Boeing memiliki duopoli pasar pesawat yang besar di dunia. Boeing tahun sebelumnya sempat menyusul Airbus sebagai produsen pesawat terbesar di dunia, untuk pertama kalinya dalam 10 tahun.
"Lion Air itu sebenarnya salah satu maskapai penerbangan di regionalnya yang belum pernah memesan pesawat dari Airbus. Tapi kita tidak pernah menyerah," kata Wakil Presiden Eksekutif Penjualan untuk Airbus Asia Jean-Francois Laval.
"Kami tidak pernah absen dari Indonesia. Order dari Lion Air secara signifikan meningkatkan kehadiran kami di pasar penting di Indonesia," ucapnya.
Bagi pihak Boeing, menanggapi kontrak Airbus tersebut masih belum mengganggu pasar Boeing. "Lion Air menargetkan pertumbuhan yang sangat ambisius dan tidak ada produsen yang dapat penuhi kebutuhan Lion," kata juru bicara Boeing Ken Morton.
Disisi lain perlambatan pertumbuhan di negara-negara Barat yang cukup memukul industri penerbangan, negara-negara Asia terus berkembang pesat dengan masyarakat kelas menengah yang semakin berminat menggunakan angkutan udara.
"Ada 3 miliar orang di Asia, ada 300 juta orang di Amerika. Amerika memiliki sekitar 3 kali lebih banyak pesawat sekarang dari Asia," ujar CEO Air Asia Tony Fernandes.
Indonesia mengandalkan angkutan udara untuk menghubungkan 17.000 pulau dengan target 900 pesawat baru yang ditetapkan beberapa tahun ke depan.
Dari potensi besar itu, kini tercatat hanya 6% penduduk Indonesia yang melakukan perjalanan menggunakan pesawat udara dari total penduduk 240 juta jiwa. Pada tahun 2021, 180 juta penumpang ditargetkan dapat terbang untuk penerbangan domestik atau dalam negeri, artinya tiga kali lipat jumlah 2011.
Menurut Kepala Analis Capa Brendan Sobien mengatakan ketergesaan untuk pemenuhan kebutuhan permintaan pesawat, membawa risiko terhadap maskapai yang membeli pesawat baru terlalu banyak.
"Di beberapa pasar, Anda akan melihat kapasitas yang berlebih," ucapnya memperingatkan operator yang diprediksi sulit mengahsilkan keuntungan.
Seperti diketahui Lion Air, maskapai penerbangan swasta terbesar di Indonesia telah memesan lebih dari 460 pesawat hanya dalam 16 bulan, ekspansi dramatis menimbulkan keraguan khususnya terkait dengan pembiayaan, pilot dan volume pendaratan di bandara.
Saat ini ada 92 pesawat Boeing yang dioperasikan oleh Lion, kecuali Boeing McDonnel Douglas tua. Penerbangan terjauh adalah Saudi Arabia yang merupakan pasar pekerja rumah tangga (TKI) dan buruh konstruksi asal Indonesia.
Pada sebuah wawancara dengan The Stars di Malaysia, CEO Lion Air Rusdi Kirana akan coba memasuki pasar penerbangan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.
"Nantinya akan memikirkan Hongkong atau bahkan Canton (Guangzhou di China Selatan). Dan ketika mereka punya lebih banyak uang mereka akan ingin melakukan perjalanan ke Jepang, Korea, China atau Australia Utara," katanya.
(hen/hen)