ForzaPersija Berikut ini merupakan video mengenang prestasti dan jasa salah satu Legenda Persija Jakarta, Surya Lesmana (pemain Persija era 1962-1975) seperti yang dikutip dari Galeri Sepakbola Indonesia Trans 7 pada hari Minggu, 12 Agustus 2012 serta profilnya seperti yang dikutip dari Koran Tempo terbitan 15 Oktober 2006.
Setelah meninggalkan tim nasional pada 1973, Surya Lesmana (Liem Soei Liang) mencatatkan diri sebagai salah satu pelopor pemain Indonesia yang merumput di luar negeri. Ia dikontrak klub Mac Kinan Hong Kong selama satu musim pada 1974 dengan gaji HK$ 2.000 per bulan, jumlah yang cukup besar saat itu. "Dulu saya gampang dapetin cewek," kata Surya dengan bangga.
Gelandang tim nasional itu telah pergi. Surya Lesmana -- lahir dengan nama Liem Soei Liang – Rabu, 8 Agustus 2012, pagi meninggal dunia dan jenazahnya langsung dikremasi di daerah Dadap, Tangerang, Banten.
Sebelum pergi, Surya adalah sosok lelaki gagah. Di usia ke-68, ia masih tampak gagah berbalut kaus sepak bola dan celana training. Rambut peraknya sudah mulai menipis. Sejumlah gigi seri atas dan bawah yang sudah tanggal seolah menggambarkan semua miliknya yang sudah hilang: harta, takhta, dan wanita.
Surya Lesmana, mantan gelandang tim nasional, hidup sebatang kara. Tak ada istri ataupun anak yang menemaninya. Ia bahkan harus tinggal menumpang di rumah orang di Gang Kancil, Glodok, Jakarta Barat.
Dulu ia menyewa kamar berukuran 3 x 3 meter persegi seharga Rp 180 ribu per bulan pada 2000-2002. Sempat berpindah-pindah kos, ia kemudian kembali lagi ke sana.
Karena jasanya mendidik anak bapak kos dan anak-anak di lingkungan itu mengolah kulit bundar, ia ditawari tinggal secara cuma-cuma. "Tapi saya makan sendiri di luar," kata Surya saat ditemui Tempo di lapangan sepak bola Union Makes Strength (UMS), kawasan Petak Sin Kian, Jakarta Barat, Rabu lalu.
Anak keempat dari enam bersaudara ini juga tidak punya pekerjaan lain. Tiap hari Surya ke luar rumah sejak pukul delapan pagi dan pulang jam delapan malam. Ia menghabiskan waktunya mengawasi latihan anak-anak sekolah sepak bola dengan imbalan ala kadarnya.
Rutinitas lain yang dilakoni lelaki keturunan Tionghoa ini adalah mengunjungi teman-teman lama seangkatannya. Ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk mengobrol dan bercerita mengenang masa lalu.
Namun, sungguh mengenaskan. Dengan alasan berolahraga, ia berjalan kaki hingga belasan kilometer atau bahkan dua jam untuk sampai ke sana. "Saya sering jalan sampai ke Komdak, Slipi, atau Cempaka Putih. Tapi, kalau udah siang, saya naik bus," ujar Surya sambil menatap ke depan dengan pandangan kosong.
Siapa tak kenal Surya ketika masa jayanya pada 1960-an. Ia dikenal sebagai gelandang jempolan yang memiliki kemampuan menyerang ataupun bertahan sama baiknya.
Ia mengawali kariernya di klub UMS pada 1958. Karena kemampuan individunya yang bagus, ia bergabung dengan Persija Jakarta selama 1962-1975. Ia juga sempat memperkuat tim nasional dari 1963 sampai 1972.
Namanya kian tersohor seiring dengan kariernya yang mulus. Pria kelahiran Balaraja, Serang, ini menjadi pujaan banyak orang. Uang, pekerjaan, dan perempuan dengan mudah menghampiri dirinya.
Setelah meninggalkan tim nasional pada 1973, ia mencatatkan diri sebagai salah satu pelopor pemain Indonesia yang merumput di luar negeri. Ia dikontrak klub Mac Kinan Hong Kong selama satu musim pada 1974 dengan gaji HK$ 2.000 per bulan, jumlah yang cukup besar saat itu. "Dulu saya gampang dapetin cewek," kata Surya dengan bangga.
Sudah menjadi kodrat bahwa manusia adalah pelupa. Surya pun menjadi lupa diri dengan segala popularitas yang diraihnya. Ia tenggelam bersama kesenangan dunia. Ia tidak menikah, apalagi punya anak. Ia juga tidak memiliki rumah ataupun kendaraan. "Kadang-kadang manusia lupa sewaktu berjaya. Kalau punya keluarga mungkin saya bertanggung jawab," ujarnya.
Tapi Surya tak mau menyesali keadaannya saat ini. "Kita harus terima keadaan ini dengan lapang dada dan besar hati," ujarnya.
Lelaki yang berulang tahun setiap 20 Mei ini masih tetap menggeluti sepak bola, dunia yang pernah melambungkan sekaligus menenggelamkan nasibnya. Ia masih bermain bola bersama para manusia lanjut usia setiap Rabu dan Ahad di lapangan UMS, tempatnya pertama kali mengasah keterampilannya sebagai pesepak bola.
Meski harus menghadapi getirnya hidup di usia senja, ia masih berharap pemerintah mau memperhatikan nasibnya. Harapan ini sempat muncul ketika Menteri Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault mengunjunginya dua kali pada Januari dan September tahun ini. Ia memperoleh bantuan uang tunai, yang tak mau disebutkan jumlahnya. "Saya juga minta diberikan rumah yang layak," kata Surya.
Bermain di Hong Kong
Tak sia-sia Surya Lesmana menggeluti sepak bola. Bakat yang mengalir dari ayahnya itu membuat ia menjadi salah satu andalan tim nasional pada 1960-an.
Pengagum pemain Jerman, Franz Beckenbauer, ini termasuk beruntung dapat meraih sejumlah prestasi di tingkat internasional. Ia pernah mengantarkan tim nasional menjuarai Aga Khan Gold Cup di Bangladesh (1966), Merdeka Games di Malaysia (1968), Kings Cup di Thailand (1969), dan Lion Cup di Singapura (1970).
Selain kenangan manis, ia dan rekan-rekan juga pernah merasakan pengalaman pahit di negeri orang. Ketika melakukan pertandingan persahabatan dengan Kamboja di Pnom Penh, kedua kesebelasan sempat baku hantam. Ia nyaris dipukuli para pemain Kamboja dalam keributan itu. Akhirnya Raja Kamboja minta maaf atas kejadian itu.
Meski pensiun dari tim nasional pada 1973, namanya tak lantas hilang dari dunia sepak bola Tanah Air. Kepiawaiannya mengolah kulit bundar juga membuat klub-klub asing meliriknya.
Salah satunya adalah Mac Kinan dari Hong Kong. Surya sempat mengecap atmosfer sepak bola di bekas jajahan Inggris itu selama satu musim pada 1974 dengan gaji HK$ 2.000 per bulan.
Setelah meninggalkan tim nasional pada 1973, Surya Lesmana (Liem Soei Liang) mencatatkan diri sebagai salah satu pelopor pemain Indonesia yang merumput di luar negeri. Ia dikontrak klub Mac Kinan Hong Kong selama satu musim pada 1974 dengan gaji HK$ 2.000 per bulan, jumlah yang cukup besar saat itu. "Dulu saya gampang dapetin cewek," kata Surya dengan bangga.
Gelandang tim nasional itu telah pergi. Surya Lesmana -- lahir dengan nama Liem Soei Liang – Rabu, 8 Agustus 2012, pagi meninggal dunia dan jenazahnya langsung dikremasi di daerah Dadap, Tangerang, Banten.
Sebelum pergi, Surya adalah sosok lelaki gagah. Di usia ke-68, ia masih tampak gagah berbalut kaus sepak bola dan celana training. Rambut peraknya sudah mulai menipis. Sejumlah gigi seri atas dan bawah yang sudah tanggal seolah menggambarkan semua miliknya yang sudah hilang: harta, takhta, dan wanita.
Surya Lesmana, mantan gelandang tim nasional, hidup sebatang kara. Tak ada istri ataupun anak yang menemaninya. Ia bahkan harus tinggal menumpang di rumah orang di Gang Kancil, Glodok, Jakarta Barat.
Dulu ia menyewa kamar berukuran 3 x 3 meter persegi seharga Rp 180 ribu per bulan pada 2000-2002. Sempat berpindah-pindah kos, ia kemudian kembali lagi ke sana.
Karena jasanya mendidik anak bapak kos dan anak-anak di lingkungan itu mengolah kulit bundar, ia ditawari tinggal secara cuma-cuma. "Tapi saya makan sendiri di luar," kata Surya saat ditemui Tempo di lapangan sepak bola Union Makes Strength (UMS), kawasan Petak Sin Kian, Jakarta Barat, Rabu lalu.
Anak keempat dari enam bersaudara ini juga tidak punya pekerjaan lain. Tiap hari Surya ke luar rumah sejak pukul delapan pagi dan pulang jam delapan malam. Ia menghabiskan waktunya mengawasi latihan anak-anak sekolah sepak bola dengan imbalan ala kadarnya.
Rutinitas lain yang dilakoni lelaki keturunan Tionghoa ini adalah mengunjungi teman-teman lama seangkatannya. Ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk mengobrol dan bercerita mengenang masa lalu.
Namun, sungguh mengenaskan. Dengan alasan berolahraga, ia berjalan kaki hingga belasan kilometer atau bahkan dua jam untuk sampai ke sana. "Saya sering jalan sampai ke Komdak, Slipi, atau Cempaka Putih. Tapi, kalau udah siang, saya naik bus," ujar Surya sambil menatap ke depan dengan pandangan kosong.
Siapa tak kenal Surya ketika masa jayanya pada 1960-an. Ia dikenal sebagai gelandang jempolan yang memiliki kemampuan menyerang ataupun bertahan sama baiknya.
Ia mengawali kariernya di klub UMS pada 1958. Karena kemampuan individunya yang bagus, ia bergabung dengan Persija Jakarta selama 1962-1975. Ia juga sempat memperkuat tim nasional dari 1963 sampai 1972.
Namanya kian tersohor seiring dengan kariernya yang mulus. Pria kelahiran Balaraja, Serang, ini menjadi pujaan banyak orang. Uang, pekerjaan, dan perempuan dengan mudah menghampiri dirinya.
Setelah meninggalkan tim nasional pada 1973, ia mencatatkan diri sebagai salah satu pelopor pemain Indonesia yang merumput di luar negeri. Ia dikontrak klub Mac Kinan Hong Kong selama satu musim pada 1974 dengan gaji HK$ 2.000 per bulan, jumlah yang cukup besar saat itu. "Dulu saya gampang dapetin cewek," kata Surya dengan bangga.
Sudah menjadi kodrat bahwa manusia adalah pelupa. Surya pun menjadi lupa diri dengan segala popularitas yang diraihnya. Ia tenggelam bersama kesenangan dunia. Ia tidak menikah, apalagi punya anak. Ia juga tidak memiliki rumah ataupun kendaraan. "Kadang-kadang manusia lupa sewaktu berjaya. Kalau punya keluarga mungkin saya bertanggung jawab," ujarnya.
Tapi Surya tak mau menyesali keadaannya saat ini. "Kita harus terima keadaan ini dengan lapang dada dan besar hati," ujarnya.
Lelaki yang berulang tahun setiap 20 Mei ini masih tetap menggeluti sepak bola, dunia yang pernah melambungkan sekaligus menenggelamkan nasibnya. Ia masih bermain bola bersama para manusia lanjut usia setiap Rabu dan Ahad di lapangan UMS, tempatnya pertama kali mengasah keterampilannya sebagai pesepak bola.
Meski harus menghadapi getirnya hidup di usia senja, ia masih berharap pemerintah mau memperhatikan nasibnya. Harapan ini sempat muncul ketika Menteri Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault mengunjunginya dua kali pada Januari dan September tahun ini. Ia memperoleh bantuan uang tunai, yang tak mau disebutkan jumlahnya. "Saya juga minta diberikan rumah yang layak," kata Surya.
Bermain di Hong Kong
Tak sia-sia Surya Lesmana menggeluti sepak bola. Bakat yang mengalir dari ayahnya itu membuat ia menjadi salah satu andalan tim nasional pada 1960-an.
Pengagum pemain Jerman, Franz Beckenbauer, ini termasuk beruntung dapat meraih sejumlah prestasi di tingkat internasional. Ia pernah mengantarkan tim nasional menjuarai Aga Khan Gold Cup di Bangladesh (1966), Merdeka Games di Malaysia (1968), Kings Cup di Thailand (1969), dan Lion Cup di Singapura (1970).
Selain kenangan manis, ia dan rekan-rekan juga pernah merasakan pengalaman pahit di negeri orang. Ketika melakukan pertandingan persahabatan dengan Kamboja di Pnom Penh, kedua kesebelasan sempat baku hantam. Ia nyaris dipukuli para pemain Kamboja dalam keributan itu. Akhirnya Raja Kamboja minta maaf atas kejadian itu.
Meski pensiun dari tim nasional pada 1973, namanya tak lantas hilang dari dunia sepak bola Tanah Air. Kepiawaiannya mengolah kulit bundar juga membuat klub-klub asing meliriknya.
Salah satunya adalah Mac Kinan dari Hong Kong. Surya sempat mengecap atmosfer sepak bola di bekas jajahan Inggris itu selama satu musim pada 1974 dengan gaji HK$ 2.000 per bulan.
Pramudya Ksatria Budiman
Legenda Persija
,
news
,
Persija
,
Profil
,
Surya Lesmana
,
video