Bukan Pakar SEO Ganteng

Showing posts with label Legenda Persija. Show all posts
Showing posts with label Legenda Persija. Show all posts

Mengenang Prestasi dan Jasa Surya Lesmana

ForzaPersija Berikut ini merupakan video mengenang prestasti dan jasa salah satu Legenda Persija Jakarta, Surya Lesmana (pemain Persija era 1962-1975) seperti yang dikutip dari Galeri Sepakbola Indonesia Trans 7 pada hari Minggu, 12 Agustus 2012 serta profilnya seperti yang dikutip dari Koran Tempo terbitan 15 Oktober 2006.

Setelah meninggalkan tim nasional pada 1973,  Surya Lesmana (Liem Soei Liang) mencatatkan diri sebagai salah satu pelopor pemain Indonesia yang merumput di luar negeri. Ia dikontrak klub Mac Kinan Hong Kong selama satu musim pada 1974 dengan gaji HK$ 2.000 per bulan, jumlah yang cukup besar saat itu. "Dulu saya gampang dapetin cewek," kata Surya dengan bangga.

Gelandang tim nasional itu telah pergi. Surya Lesmana -- lahir dengan nama Liem Soei Liang –  Rabu, 8 Agustus 2012, pagi  meninggal dunia dan jenazahnya langsung dikremasi di daerah Dadap, Tangerang, Banten.

Sebelum pergi, Surya adalah sosok lelaki gagah. Di usia ke-68, ia masih tampak gagah berbalut kaus sepak bola dan celana training. Rambut peraknya sudah mulai menipis. Sejumlah gigi seri atas dan bawah yang sudah tanggal seolah menggambarkan semua miliknya yang sudah hilang: harta, takhta, dan wanita.

Surya Lesmana, mantan gelandang tim nasional, hidup sebatang kara. Tak ada istri ataupun anak yang menemaninya. Ia bahkan harus tinggal menumpang di rumah orang di Gang Kancil, Glodok, Jakarta Barat.

Dulu ia menyewa kamar berukuran 3 x 3 meter persegi seharga Rp 180 ribu per bulan pada 2000-2002. Sempat berpindah-pindah kos, ia kemudian kembali lagi ke sana.

Karena jasanya mendidik anak bapak kos dan anak-anak di lingkungan itu mengolah kulit bundar, ia ditawari tinggal secara cuma-cuma. "Tapi saya makan sendiri di luar," kata Surya saat ditemui Tempo di lapangan sepak bola Union Makes Strength (UMS), kawasan Petak Sin Kian, Jakarta Barat, Rabu lalu.

Anak keempat dari enam bersaudara ini juga tidak punya pekerjaan lain. Tiap hari Surya ke luar rumah sejak pukul delapan pagi dan pulang jam delapan malam. Ia menghabiskan waktunya mengawasi latihan anak-anak sekolah sepak bola dengan imbalan ala kadarnya.

Rutinitas lain yang dilakoni lelaki keturunan Tionghoa ini adalah mengunjungi teman-teman lama seangkatannya. Ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk mengobrol dan bercerita mengenang masa lalu.

Namun, sungguh mengenaskan. Dengan alasan berolahraga, ia berjalan kaki hingga belasan kilometer atau bahkan dua jam untuk sampai ke sana. "Saya sering jalan sampai ke Komdak, Slipi, atau Cempaka Putih. Tapi, kalau udah siang, saya naik bus," ujar Surya sambil menatap ke depan dengan pandangan kosong.

Siapa tak kenal Surya ketika masa jayanya pada 1960-an. Ia dikenal sebagai gelandang jempolan yang memiliki kemampuan menyerang ataupun bertahan sama baiknya.

Ia mengawali kariernya di klub UMS pada 1958. Karena kemampuan individunya yang bagus, ia bergabung dengan Persija Jakarta selama 1962-1975. Ia juga sempat memperkuat tim nasional dari 1963 sampai 1972.

Namanya kian tersohor seiring dengan kariernya yang mulus. Pria kelahiran Balaraja, Serang, ini menjadi pujaan banyak orang. Uang, pekerjaan, dan perempuan dengan mudah menghampiri dirinya.

Setelah meninggalkan tim nasional pada 1973, ia mencatatkan diri sebagai salah satu pelopor pemain Indonesia yang merumput di luar negeri. Ia dikontrak klub Mac Kinan Hong Kong selama satu musim pada 1974 dengan gaji HK$ 2.000 per bulan, jumlah yang cukup besar saat itu. "Dulu saya gampang dapetin cewek," kata Surya dengan bangga.

Sudah menjadi kodrat bahwa manusia adalah pelupa. Surya pun menjadi lupa diri dengan segala popularitas yang diraihnya. Ia tenggelam bersama kesenangan dunia. Ia tidak menikah, apalagi punya anak. Ia juga tidak memiliki rumah ataupun kendaraan. "Kadang-kadang manusia lupa sewaktu berjaya. Kalau punya keluarga mungkin saya bertanggung jawab," ujarnya.

Tapi Surya tak mau menyesali keadaannya saat ini. "Kita harus terima keadaan ini dengan lapang dada dan besar hati," ujarnya.

Lelaki yang berulang tahun setiap 20 Mei ini masih tetap menggeluti sepak bola, dunia yang pernah melambungkan sekaligus menenggelamkan nasibnya. Ia masih bermain bola bersama para manusia lanjut usia setiap Rabu dan Ahad di lapangan UMS, tempatnya pertama kali mengasah keterampilannya sebagai pesepak bola.

Meski harus menghadapi getirnya hidup di usia senja, ia masih berharap pemerintah mau memperhatikan nasibnya. Harapan ini sempat muncul ketika Menteri Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault mengunjunginya dua kali pada Januari dan September tahun ini. Ia memperoleh bantuan uang tunai, yang tak mau disebutkan jumlahnya. "Saya juga minta diberikan rumah yang layak," kata Surya.

 Bermain di Hong Kong

Tak sia-sia Surya Lesmana menggeluti sepak bola. Bakat yang mengalir dari ayahnya itu membuat ia menjadi salah satu andalan tim nasional pada 1960-an.

Pengagum pemain Jerman, Franz Beckenbauer, ini termasuk beruntung dapat meraih sejumlah prestasi di tingkat internasional. Ia pernah mengantarkan tim nasional menjuarai Aga Khan Gold Cup di Bangladesh (1966), Merdeka Games di Malaysia (1968), Kings Cup di Thailand (1969), dan Lion Cup di Singapura (1970).

Selain kenangan manis, ia dan rekan-rekan juga pernah merasakan pengalaman pahit di negeri orang. Ketika melakukan pertandingan persahabatan dengan Kamboja di Pnom Penh, kedua kesebelasan sempat baku hantam. Ia nyaris dipukuli para pemain Kamboja dalam keributan itu. Akhirnya Raja Kamboja minta maaf atas kejadian itu.

Meski pensiun dari tim nasional pada 1973, namanya tak lantas hilang dari dunia sepak bola Tanah Air. Kepiawaiannya mengolah kulit bundar juga membuat klub-klub asing meliriknya.

Salah satunya adalah Mac Kinan dari Hong Kong. Surya sempat mengecap atmosfer sepak bola di bekas jajahan Inggris itu selama satu musim pada 1974 dengan gaji HK$ 2.000 per bulan.

Widodo Cahyo Putra, Punggawa Peraih Emas 1991



ForzaPersija Jalan Tuhan selalu ada dimana-mana. Begitu pun dengan jalan Tuhan yang diberikan kepada Widodo Cahyo Putra, mantan bintang Timnas Merah-Putih dan Persija. Berikut ini merupakan profil Widodo Cahyo Putra seperti yang dikutip dari Tabloid Bola edisi 2.290 Sabtu-Minggu, 24-25 Desember 2011 halaman 27.




Begitu unik ketika mendengar cerita Widodo mendulang sukses di kancah sepak bola nasional. Siapa mengira bahwa cederanya Warta Kusuma, seorang pemain timnas yang kala itu membela klub Galatama Warna Agung, justru menjadi pembuka karier bagi Widodo.

Pada 1988, Warta yang mengalami cidera diberi rekomendasi oleh Pelatih Warna Agung, Endang Witarsa untuk menjalani terapi di Tasikmalaya, Jabar. Kebetulan saat itu disana terdapat terapis yang cukup populer di kalangan pelatih dan pemain Jabar. Di Tasik, Warta dititipkan kepada Oteng, seorang pengusaha yang masih punya hubungan dengan Endang.

Oteng yang merupakan warga keturunan Tionghoa itu ternyata juga pecandu sepak bola. Bahkan Oteng mmepunyai dua klub yang sedang mengikuti turnamen di kota itu. Satu klub milik Oteng telah tersingkir, sementara satu klub lagi masih berpeluang menembus babak final. Klub yang masih berpeluang inilah yang bermaterikan Widodo.

Kesempatan emas pun datang, dalam sebuah partai final turnamen antar kampung itu, Oteng, Warta dan Endang hadir.

"Saat itu saya bermain dengan tiga kakak kandung saya, yakni Immanuel Dwi Prio sebagai striker, Yoga Budi Pramono sebagai gelandang sayap, Karyono sebagai gelandang, serta saya sendiri bermain sebagai striker. Kami menang di final. Rasanya momen itu tak akan terlupakan, sebab saya bermain bersama tiga saudara kandung saya. Rasanya seperti sebuah kemenangan keluarga." kata Widodo sambi tersenyum.

Dewi fortuna ternyata tak hanya sampai disitu mengikuti Widodo. Endang juga begitu tertarik dengan penampilan Widodo.

Sebuah skill individu alami yang dimiliki Widodo membuang Endang mempunyai niat untuk memboyongnya ke klub Warna Agung yang bermarkas di Jakarta. Namun tawaran itu tidak lantas diterima Widodo. Sebuah pemikiran matang membuat Widodo tidak begitu saja tergiur dengan gemerlapnya klub besar di Jakarta.

"Saat itu bagi pemain kampung seperti saya tentu saja mempunyai mimpi besar bermain di klub sebesar Warna Agung yang bermarkas di Jakarta. Tapi saya berpikir, bahwa menyelesaikan sekolah dahulu itu lebih bijaksana. Apalagi saat itu saya sudah duduk di kelas tiga SMA. Tanggung rasanya jika harus ditinggalkan." ucap Widodo.

Pertengahan 1989, ketika Widodo telah resmi menamatkan sekolahnya, Widodo pun resmi memenuhi janjinya datang untuk bermain di Warna Agung.

Namun Widodo sadar, bahwa dari ibu kota ini semua kesempatan dan mimpinya sebagai pemain nasional bisa diraihnya. Proses dilalui dengan sabar dan telaten. Tidak mudah puas menjadi salah satu faktor yang membuat Widodo berkembang. Selain menyerap ilmu dari pelatih, Widodo juga belajar dari pemain-pemain lain yang lebih senior. Bahkan Widodo bekerja keras dengan menambah porsi latihan sendiri.

Usaha positif akan selalu membawa manfaat. Sebuah momen yang begitu penting dia dapatkan. Setahun bermain di level kompetisi profesional, nama Widodo langsung tercatat di sebagai salah satu pemain timnas junior yang ketika itu disiapkan mengikuti ajang Pra-Olimpiade.

Bahkan setahun kemudian pemain asal Majenang, Cilacap, Jateng itu sukses menembus skuad timnas senior dan mempersembahkan medali emas bagi Merah-Putih di ajang SEA Games 1991.

"Saya juga mencetak tiga gol di event ini dan kami mendapatkan emas. Inilah momen terpenting saya sebagai pemain timnas." kenang suami Adna Rohanny ini.

Widodo lantas hijrah ke klub Petrokimia Gresik yang kala itu ditangani oleh pelatih kawakan Andi Teguh. Disnilah Widodo semakin mendapatkan tempat di hati pecinta sepak bola nasional, khususnya masyrakat Gresik.

Polesan yang diberikan Andi semakin menyempurnakan kemampuan Widodo, terlebih ketika dipadukan pemain asal Brazil Jacksen Tiago serta Carlos De Melo. "Widodo adalah talenta terbaik yang pernah dimiliki Indonesia dan saya beruntung pernah bermain bersamanya." komentar Jacksen yang kini fokus melatih Persipura.

Gresik memang punya tempat tersendiri bagi Widodo. Baginya Gresik tak hanya kota yang telah membesarkan karirnya sebagai pemain. Namun dari Gresik, Widodo juga memulai peruntungannya sebagai pelatih. Seusai pensiun bermain, Widodo lantas menjajal berkarier sebagai pelatih.

Mendirikan Akademi Sepak Bola

Totalitas Widodo si sepak bola ternyata tak hanya terhenti ketika dirinya memutuskan gantung sepatu. Namun, sebuah mimpi besar sedang dibidikannya seusai pensiun sebagai pemain. Ya, Widodo ingin sekali menularkan ilmu yang telah didapatkannya kepada banyak pemain muda.

Jika kebanyakan para mantan pemain memilih berbisnis, Widodo memilih mendirikan Akademi Sepak Bola Wahan Cipta Pesepakbola (WCP) yang berkantor di Jl. Jawa 18 Komplek GKB Gresik.

Pilih membaktikan diri untuk sepak bola Indonesia

"Mulanya saya memang punya beberapa rencana untuk mencoba usaha yang murni berorientasi bisnis. Tapi setelah saya pertimbangkan dan berkonsultasi dengan istri, akhirnya saya mantap mendirikan akademi. Kebetulan ada beberapa teman seperti Sulkan, Sashi Kirono serta Nugroho juga mempunyai pandangan sama serta mendukung penuh rencana ini." ucap pria pengagum Juergen Klinsmann ini.

Widodo memang sadar bahwa usahanya membuat akademi masih jauh dari harapan jika dilihat dari sudut pandang bisnis. Namun hati kecil pemain yang terkenal dengan gol saltonya ke gawang Kuwait di Piala Asia 1996 itu tetap optimis dengan pilihannya.

Gol Spektakuler Widodo Cahyo Putra
"Saya tahu ini akan sulit mendapatkan untung secara hitungan bisnis. Tapi saya tidak bisa mengingkari hati nurani. Ada kepuasan tersendiri ketika saya berada di tengah pemain muda." jelasnya.

Apalagi sekarang banyak orang tua yang ingin memasukan anaknya ke akademi sepak bola. Plus, ilmu sepak bola yang semakin berkembang harus disalurkan.

Belum setahun memang akademi WCP ini berdiri namun sebuah pencapaian yang menggembirakan telah diraihnya. Setidaknya empat pemain pilar kesebelasan SMPN 3 Gresik yang tahun ini menjuarai Liga Pendidikan Indonesia adalah hasil binaan akademi WCP. Termasuk striker Dimas Malik yang punya kans besar sebagai pemain muda Indonesia yang dikirim berlatih di Spanyol.

Sorot Skill Individu

Widodo punya pengamatan tersendiri mengenai perkembangan sepak bola nasional. Ia membandingkan antara generasi sebelumnya dengan generasi sekarang. Menurutnya, perbedaan terlihat dari sudut pandang skiill individu pemain.

Menurutnya, generasi dulu adalah generasi pemuja teknik individu. Tak heran jika di masa tersebut prestasi timnas Merah-Putih cukup moncer.

Analisis Widodo bisa jadi benar, sebab menurut pengakuan, M. Basri, mantan pemain nasional yang kini melatih Persiba Bantul, pernah mengatakan bahwa jika timnas Merah-Putih bertandang ke Tokyo melawan Timnas Jepang, itu ibarat berwisata, sebab Merah-Putih pasti menang.

Mempertanyakan keahlian pemain generasi saat ini.
Kondisi telah terbalik. Jangankan untuk mengalahkan Timnas Jepang, merebut kampiun di Asia Tenggara saja timnas kesulitan. Menurut Widodo, hal ini disebabkan mulai merosotanya kualitas skill individu pemain. Padahal skill individu pemain adalah modal utama untuk menciptkan team work yang bagus dalam sebuah tim.

"Bagaimana permainan tim bisa bagus jika skill individu pemainnya tidak bagus? Akibatnya banyak terjadi kesalahan dalam permainan. Kita lihat Barca bisa menerapkan permainan dengan baik juga dengan dukungan skill individu yang mumpuni, setelah itu disempurnakan dengan fisik dan mentalnya." jelasnya.

Akan tetapi, penilaian Widodo tersebut bukanlah sebuah pesimistis. Dirinya menilai generasi mendatang justru bisa menjadi generasi emas dan mungkin akan bisa mencapai lebih jauh dari pendahulunya. Dukungan teknologi di era terkini memungkinkan pemain untuk mengembangkan skill individu.

"Sekarang begitu mudah kita mendapatkan informasi dari televisi maupun internet. Tak hanya yang  berbentuk turtotial dasar-dasar sepak bola, namun kita juga bisa dengan mudah melihat suara televisi maupun cuplikan-cuplikan video berkualitas di Youtube yang bisa dijadikan inspirasi bagi pemain untuk mengembangkan keterampilan mereka." ungkapnya.


Pramudya Ksatria Budiman Legenda Persija , Widodo Cahyo Putra

Risdianto, Striker yang Pernah Jajal MU


Risdianto menjadi striker PSSI Tamtama saat berhadapan dengan Manchester United 1975 lalu.


Risdianto menjadi striker PSSI Tamtama saat berhadapan dengan Manchester United 1975 lalu. Sayang, mantan pemain Persija Jakarta itu tidak bisa tampil optimal karena cedera.

Risdianto merupakan salah seorang legenda hidup sepakbola Indonesia. Pria kelahiran Pasuruan, Jawa Timur, 1950 itu merupakan bomber subur di masanya.

Kecepatan dan akurasi tembakan yang dimiliki Risdianto menjadi senjatanya dalam membobol gawang lawan. Sayang, Risdianto tak menunjukkan performa terbaiknya saat berhadapan dengan MU, 1975 lalu.

Sekitar 70 ribu penonton yang hadir di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) tak bisa dibuatnya berdiri dan bersorak.

"Saya masih dalam kondisi cedera engkel saat itu. Jadi tidak bisa tampil maksimal," kata Risdianto saat dihubungi VIVAnews, Kamis, 16 Juli 2009.

Bagi Risdianto, MU tidak sebesar sekarang ini. Tommy Docherty cs masih berada di Divisi II Liga Inggris. Selain itu, MU juga hadir tanpa tiga pilar andalannya, yakni Lou Macari, Martin Buchan, dan Laez Fortsyth.

"Inggris bukanlah kiblat sepakbola saat itu. MU juga belum sehebat sekarang. Dulu klub-klub yang kuat itu ada di Brasil dan Belanda," kata Risdianto.

Tiga tahun sebelum bertemu MU, Risdianto sempat membuat penonton di SUGBK bersorak. Saat itu PSSI berhadapan dengan tim asal Brasil, Santos. Tim ini dihuni bintang legenda hidup sepakbola dunia Pele.

Meski PSSI akhirnya kalah dengan skor 2-3, Risdianto pada pertandingan ini mampu mengungguli produktifitas Pele. Risdianto berhasil mencetak dua gol sedangkan Pele hanya satu gol, itupun lewat titik putih penalti.

"Saya juga tidak menduga bisa mencetak gol saat lawan Santos. Saat itu saya hanya berusaha untuk bermain fokus dan percaya diri," kata Risdianto.

"Sepakbola selalu menjadi misteri hingga pluit panjang dibunyikan. Karena itu, meski di atas kertas kita tidak diunggulkan, namun apapun masih bisa terjadi," tambahnya.

Pesan ini jugalah yang ingin disampaikan Risdianto kepada bomber-bomber tim Indonesia All Star saat berhadapan dengan MU di SUGBK, 20 Juli mendatang. Meski tidak diunggulkan, Indonesia All Star harus tetap percaya diri.

"Kalau sudah tidak percaya diri sudah susah untuk cetak gol. Kita punya striker dengan karakter yang berbeda-beda. Mereka harus tetap mempertahankannya dan tetap yakin bisa cetak gol," kata Risdianto.

Ketua Umum PSSI Nurdin Halid memprediksi Indonesia All Star akan kalah menghadapi MU. Prediksi skornya pun lumayan telak, 1-4.


Risdianto, pemain Persija juara 1973 dan 1975


Biodata
Nama     : Risdianto
Lahir    : Pasuruan, 3 Januari 1950
Karir
Pemain
- Persekap Pasuruan (1964-1969)
- Pardedetex Medan (1969-1970)
- UMS (1971)
- Persija Jakarta (1971-1973)
- PON DKI Jakarta (1973)
- Mackinnons FC Hongkong (1974-1975)
- Persija Jakarta (1975-1977)
- PON DKI Jakarta (1977)
- Warna Agung (1978-1983)
- Tim Nasional (1970-1981)

Pelatih
- Menteng FC, klub internal Persija (1984-1987)
- Warna Agung (1988)
- Lampung Putra (1989-1990)
- Persegres Gresik (1991-1992)
- Petrokimia Gresik (1993-1994)
- Persija Jakarta (1996)
- Persikad Depok (2005)
- Persipur Purwodadi (2006)
- Tim Monitoring Badan Tim Nasional (2007-...)

Prestasi
-Turut mengantarkan Persekap Pasuruan promosi ke Divisi Utama (1964)
-Juara Galatama bersama Warna Agung (1979/1980)
-Juara Perserikatan bersama Persija Jakarta (1971/1973)
-Juara Anniversary Cup bersama timnas Indonesia (1972)
-Mencetak dua gol ke gawang Santos Brazil saat timnas
 Indonesia bertemu Santos (1972)
-Juara PON VIII bersama DKI Jakarta (1973)
-Juara PON IX bersama DKI Jakarta (1977)
-Perak SEA Games (1979)
-Perunggu SEA Games (1981)

Sumber: Vivanews
Pramudya Ksatria Budiman Legenda Persija , Risdianto

Hadi Mulyadi (Fam Tek Fong)


Fan Tek Fong alias Hadi Mulyadi alias Mulyadi (lahir di Serang, 19 September 1943 – meninggal 30 Januari 2011 pada umur 67 tahun) adalah seorang pemain sepak bola Indonesia di era tahun 1960an. Pada masanya, Ia dikenal sebagai pemain belakang yang andal. Ia pernah memperkuat tim nasional PSSI, UMS, Persija, Pardedetex, dan Warna Agung.


Tek Fong, demikian ia biasa dipanggil, mulai mengenal sepak bola saat berusia 10 tahun. Ketika itu, ia hampir setiap hari datang ke Petak Sinkian untuk melihat Thio Him Tjiang, Djamiaat Dhalhar, Kwee Kiat Sek, Chris Ong, dan Van der Vin berlatih di bawah pimpinan pelatih Drg. Endang Witarsa (Liem Sun Yu). Pada tahun 1960 Tek Fong diterima masuk Union Makes Strength (UMS) setelah Dokter Endang melihat ada kelebihan di kakinya. Hampir bersamaan dengannya, masuk pula Surya Lesmana, Reni Salaki, Kwee Tik Liong, dan Yudo Hadianto.

Tek Fong adalah satu dari sekian banyak murid terbaik Endang Witarsa. Endang tak hanya menjadikannya sebagai libero andal di masanya, tapi juga mengajarkan bagaimana menjalani hidup di luar lapangan. Ketika Endang dipercaya menjadi pelatih Persija Jakarta pada tahun 1963, Ia juga membawa Tek Fong untuk bergabung. Tek Fong bersama dengan Soetjipto Suntoro, Taher Yusuf, dan Domingus Wawayae berhasil membawa Persija menjadi juara Perserikatan 1963. Tek Fong kemudian pindah ke klub Pardedetex Medan pada tahun 1969.

Saat Dokter Endang dipercaya sebagai pelatih tim nasional, Ia juga meminta Tek Fong untuk bergabung. Pretasinya di tim nasional semakin cemerlang. Tek Fong bersama dengan Soetjipto Soentoro, Abdul Kadir, Risdianto, Surya Lesmana, Yakob Sihasale, Reni Salaki, Yuswardi, serta Anwar Udjang berhasil membawa berbagai gelar juara ke Indonesia.

Tek Fong kemudian memperkuat Klub Warna Agung pada tahun 1972. Benny Mulyono, pemilik klub, memintanya untuk menarik sejumlah pemain nasional memperkuat klub pabrik cat yang bermarkas di Jalan Pangeran Jayakarta. Di bawah pelatih drg. Endang Witarsa, Tek Fong bersama dengan Risdianto, Rully Nere, M. Basri, Yakob Sihasale, Timo Kapissa, dan Robby Binur mengantar klub Warna Agung ke puncak kejayaan.

Tek Fong memang tak tergeserkan selama delapan tahun di tim nasional. Ia tidak hanya membawa Persija Jakarta menjadi juara Perserikatan pada tahun 1963 tetapi juga ikut mempersembahkan empat gelar juara bagi tim nasional Indonesia, yaitu; King's Cup 1968, Merdeka Games 1969, Anniversary Cup 1972, dan Pesta Sukan 1972.


Tek Fong menganggap drg Endang Witarsa sebagai guru besarnya. Dokter Endang adalah pelatih ketika Tek Fong memperkuat UMS, Persija Jakarta, Warna Agung, dan tim nasional PSSI. Baginya, dokter Endang adalah sumber inspirasi karena hidupnya benar-benar dibaktikan pada sepak bola.

Tek Fong tidak jauh dari Dokter Endang ketika sang legenda tersebut menjalani perawatan hingga akhirnya mengembuskan napas terakhir. Ia menangis ketika ikut merasakan apa yang dirasakan Dokter. Ketika Dokter Endang sedang menahan kesakitan, Ia masih sempat-sempatnya menanyakan kondisi lapangan Petak Sinkian.

Tek Fong masih teringat ajaran-ajaran yang diberikan Dokter Endang. Dokter Endang selalu mengingatkan agar Tek Fong bersikap jujur, tidak berbohong, dan memelihara pertemanan dengan baik. Ia baru menyadari pertemanan yang dimaksud ketika Dokter memindahkannya dari Persija ke Pardedetex Medan pada 1969. Ternyata Dokter sudah berteman dengan T.D. Pardede ketika pengusaha Medan itu mendirikan klub Pardedetex.


Setelah 12 tahun menjadi pemain sepak bola, Tek Fong kini menjadi salah satu pelatih Sekolah Sepak Bola Union Makes Strength (UMS), klub sepak bola yang sudah berusia lebih dari 100 tahun. "Saya ingin menghabiskan masa tua di sini," katanya. Ia adalah sedikit dari banyak pemain nasional etnis Tionghoa yang masih tersisa.

Sebagian mimpi lelaki dengan dua anak ini kini terwujud. Tek Fong sangat bangga ketika memperkenalkan Robo Solissa, yang bermain untuk klub UMS, anggota Divisi Utama Persija Jakarta. Nyong Ambon itu adalah hasil didikannya selama tiga tahun di Sekolah Sepak Bola UMS di Petak Sinkian.

Tek Fong tidak terlalu peduli walau dia tak mendapatkan apa-apa kecuali kebanggaan saat membesarkan meteor bola baru. "Jangan tanya saya punya apa dari sepak bola," katanya. Kebanggaan baginya tak bisa dikalahkan dengan apa pun, bahkan dengan uang. Lelaki yang hampir setiap hari berada di lapangan Petak Sinkian itu memang tak punya apa-apa. Hidupnya jauh dari mentereng. Lelaki itu cukup puas hidup dengan kebanggaan.

Beristirahatlah Dalam Damai, Fan Tek Fong!



Sepakbola Indonesia kembali kehilangan salah seorang bintang masa lalunya. Fan Tek Fong, yang kemudian dikenal dengan nama Hadi Mulyadi, 67 tahun, telah berpulang pada Minggu (30/1) malam karena serangan jantung. Almarhum adalah salah seorang pemain besar pada zamannya, sebagaimana teman-teman seangkatannya yang telah mendahuluinya pergi, seperti Soetjipto Soentoro, Abdul Kadir, dan Yakob Sihasale.

Fan Tek Fong, lahir di Serang, Banten, 19 September 1943, adalah salah satu bintang timnas Indonesia era 1960-an dan 1970-an. Belajar sepakbola secara serius sejak usia 10 tahun di bawah bimbingan pelatih nasional legendaris (alm) Endang Witarsa, Tek Fong memulai karir fenomenalnya di klub UMS Petak Sinkian, sebelum kemudian bergabung dengan Persija Jakarta. Ia kemudian sempat bermain untuk Pardedex, Medan, walau kemudian kembali ke Jakarta memperkuat klub Warna Agung.

Minggu malam itu, sekitar pukul tujuh, Tek Fong tengah bersenda-gurau bersama sejumlah kerabat dan sahabarnya setelah sama-sama bersantap di sebuah kedai di bilangan Petak Sinkian, Jakarta Barat. Ia, menurut penuturan salah seorang kerabatnya, sempat tertawa terpingkal-pingkal menanggapi celoteh yang berkembang. Namun, derai tawanya tak sampai habis. "Kami kaget karena tiba-tiba saja tawanya terhenti," kata kerabatnya.

Tek Fong, ayah dari dua orang anak dan tiga cucu, kemudian sempat dilarikan ke RS Husada di kawasan Mangga Besar. Akan tetapi, Tuhan sudah memanggilnya sebelum sempat menjalani perawatan.

Saat ini, jenazah Fan Tek Fong masih disemayamkan di Ruang C RS Husada itu. Pihak keluarganya memastikan, almarhum akan dikremasi pada Rabu (2/2) sekitar pukul 10.00 wib. Tadi malam, ruang duka di RS Husada disesaki puluhan kerabat dan sahabat almarhum yang datang untuk memberikan penghormatan, termasuk pemain-pemain senior seangkatannya yang masih sehat, seperti Risdianto, Renny Salaki, Surya Lesmana.

"KIta kehilangan salah seorang bintang besar yang banyak berjasa pada persepakbolaan nasional," ungkap Sekjen PSSI Nugraha Besoes, yang terakhir bertemu almarhum saat berlangsungnya AFF Suzuki Cup bulan Desember lalu. "Dia pemain besar yang sangat bersahaja, tidak sombong, mudah diajak bicara oleh orang yang usianya jauh dibawah dia sekalipun," ujar Nugraha Besoes yang sudah mengenal Tek Fong sejak puluhan tahun silam.

Almarhum Tek Fong memang seorang bintang yang amat bersahaja. Jika tak sedang mendidik anak-anak remaja di lapangan Petak Sinkian, almarhum Tek Fong beberapa hari dalam seminggu bisa dijumpai di kantor sekretarist PSSI di kawasan Senayan. Almarhum betak berjam-jam berada di kantor PSSI, untuk bersenda-gurau dan berbagi cerita masa lalu dengan Idrus, karyawan paling senior di PSSI yang amat dikenalnya.

DELAPAN TAHUN DI TIMNAS

Tek Fong, demikian ia biasa dipanggil, mulai mengenal sepak bola saat berusia 10 tahun. Ketika itu, ia hampir setiap hari datang ke Petak Sinkian untuk melihat Thio Him Tjiang, Djamiaat Dhalhar, Kwee Kiat Sek, Chris Ong, dan Van der Vin berlatih di bawah pimpinan pelatih Drg. Endang Witarsa (Liem Sun Yu). Pada tahun 1960, Tek Fong diterima masuk Union Makes Strength (UMS) setelah DokterEndang melihat ada kelebihan di kakinya. Hampir bersamaan dengannya, masuk pula Surya Lesmana, Reni Salaki, Kwee Tik Liong, dan Yudo Hadianto.

Tek Fong adalah satu dari sekian banyak murid terbaik Endang Witarsa. Almarhum Endang Witarsa tak hanya menjadikannya sebagai libero andal di masanya, tapi juga mengajarkan bagaimana menjalani hidup di luar lapangan. Ketika Endang Witarsa dipercaya menjadi pelatih Persija Jakarta pada tahun 1963, Ia juga membawa Tek Fong untuk bergabung. Tek Fong bersama dengan Soetjipto Suntoro, Taher Yusuf, dan Domingus Wawayae berhasil membawa Persija menjadi juara Perserikatan 1963.

Saat dokter Endang Witarsa dipercaya sebagai pelatih tim nasional, Ia juga meminta Tek Fong untuk bergabung. Pretasinya di tim nasional semakin cemerlang. Tek Fong bersama dengan Soetjipto Soentoro, Abdul Kadir, Yacob Sihasale, Risdianto, Surya Lesmana, Reni Salaki, Yuswardi, serta Anwar Udjang berhasil membawa berbagai gelar juara ke Indonesia.

Tek Fong kemudian memperkuat Klub Warna Agung pada tahun 1972. Benny Mulyono, pemilik klub, memintanya untuk menarik sejumlah pemain nasional memperkuat klub pabrik cat yang bermarkas di Jalan Pangeran Jayakarta. Di bawah pelatih drg. Endang Witarsa, Tek Fong bersama dengan Risdianto, Rully Nere, M. Basri, Yakob Sihasale, Timo Kapissa, dan Robby Binur mengantar klub Warna Agung ke puncak kejayaan.

Tek Fong memang tak tergeserkan selama delapan tahun di tim nasional. Ia tidak hanya membawa Persija Jakarta menjadi juara Perserikatan pada tahun 1963 tetapi juga ikut mempersembahkan empat gelar juara bagi tim nasional Indonesia, yaitu; King's Cup 1968, Merdeka Games 1969, Anniversary Cup 1972, dan Pesta Sukan 1972.

Tek Fong menganggap drg Endang Witarsa sebagai guru besarnya. Baginya, dokter Endang adalah sumber inspirasi karena hidupnya benar-benar dibaktikan pada sepak bola.Tek Fong tidak jauh dari dokter Endang ketika sang legenda tersebut menjalani perawatan hingga akhirnya mengembuskan napas terakhir. Ia menangis ketika ikut merasakan apa yang dirasakan dokter. Ketika dokter Endang sedang menahan kesakitan, Ia masih sempat-sempatnya menanyakan kondisi lapangan Petak Sinkian. Selama masa hidupnmya Tek Fong berjuang keras untuk menjalani dengan baik apa yang telah diajarkan dokter Endang Witarsa kepadanya, yakni dengan senantiasa bersikap jujur, tidak boleh menyimpan rasa iri dan dengki pada orang lain, menjalani hidup apa adanya, dan memelihara pertemanan dengan baik.

Oleh karena itulah, Tek Fong tetap merasa nyaman di masa tuanya, tidak terlalu peduli walau dia tak mendapatkan apa-apa kecuali kebanggaan dari masa lalunya. Kebanggaan itulah yang membuat ia masih bisa merasa tenang dan selalu bisa bersikap easy going saja, walau kehidupan kesehariannya amat bersahaja.



Luciano Leandro


Pramudya Ksatria Budiman Legenda Persija , Luciano Leandro

Sinyo Aliandoe


Pramudya Ksatria Budiman Legenda Persija , Sinyo Aliandoe

Sofyan Hadi


Pramudya Ksatria Budiman Legenda Persija , Sofyan Hadi

Oyong Liza, Tak Silau dengan Kebesaran Setan Merah



Sama halnya dengan pesepakbola seangkatannya, Oyong Liza mengaku tidak memiliki banyak kenangan saat membela PSSI Tamtama menghadapi Manchester United pada 1975 lalu. Namun, Oyong yakin timnas senior saat ini punya peluang untuk mengimbangi Setan Merah.

Oyong Liza merupakan libero PSSI saat menahan imbang MU 0-0, 1975 lalu. Di mata Oyong, Setan Merah di masanya bukanlah tim yang menyilaukan. Kemampuan MU juga masih berada di bawah tim-tim asal Belanda dan Brasil.

"Kiblat sepakbola kita zaman dulu adalah Belanda dan Brasil. Sedangkan Inggris belum ada apa-apanya. Karena itu, saat berhadapan dengan MU waktu itu tidak lebih dari sekadar uji coba biasa," kata Oyong saat ditemui di Senayan, Senin 6 Juli 2009.

Sekilas, Oyong masih ingat bagaimana MU tampil. Gerry Dally cs menurut pria kelahiran Padang, 10 November 1946 ini masih memperagakan sepakbola khas Inggris, kick and rush.

"MU masih bermain dengan umpan-umpan panjang. Belum ada yang memiliki skill individu yang menonjol (seperti saat ini). Permainan mereka berbeda dengan MU yang sekarang," kata Oyong.

Indonesia All Star akan menjajal MU di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), 20 Juli 2009. Kunjungan ini merupakan rangkaian Tur Asia MU tahun ini.

Tantangan bagi timnas senior tentu saja berubah. Ponaryo Astaman cs akan berhadapan dengan raksasa Eropa yang punya sederet pemain kelas dunia.

Melihat kondisi ini, Oyong coba memotivasi pemain-pemain timnas yang akan berlaga nanti. "Saya pikir timnas masih punya peluang untuk mengimbangi MU. Asalkan mereka bermain disiplin dan percaya diri," kata Oyong.

Menurut mantan pemain Persija ini, kunci penampilan sebuah tim terletak di 15 menit pertama pertandingan. Bila pada masa itu tim mampu tampil nyaman, itu artinya tim sudah menemukan permainannya.

"MU punya pemain cepat, kita juga punya. Tinggal bagaimana membuat permainan nyaman saja. Kuncinya di 15 menit pertama. Kalau kita bisa mengimbangi MU di masa itu, timnas saya pikir mampu mengimbangi MU," tandas Oyong.


Oyong Liza ( 1969-1977 ), Kapten Persija juara 1973, 1975 dan 1979


Pramudya Ksatria Budiman Legenda Persija , Oyong Liza