Meskipun sudah lewat 4 hari yang lalu, namun Pidato itu masih membekas diseluruh para pendengarnya. Bebarapa media masih sempat memutar ulang tayangannya, koran-koran ibukota dan lokal masih mengulas tentang hal itu.
Memang luar biasa, ketika Presiden Amerika Serikat, Barack Obama berpidato di hadapan 7.500 undangan di Balairung Universitas Indonesia, dalam 30 menit mendapat aplaus 27 kali. Tidak mengherankan, sebab dari mulut Obama meluncur kata-kata yang sangat disukai telinga orang Indonesia, kalimat-kalimat pujian dan keberpihakan. Obama mengawali pidatonya dengan assalamu alaikum dan salam sejahtera. Tak pelak rangkulan simpati sudah dia mulai. Apalagi disusul dengan kalimat pulang kampung nih, tawa dan tepuk tangan lalu menggema.
Tidak kurang 40 kali orang nomor satu AS itu menyelipkan bahasa Indonesia yang cukup fasih, lebih fasih dari bahasa Indonesianya artis Cinta Laura dan Manohara. Obama memang menyatakan bahwa Indonesia adalah bagian dari dirinya dan itu telah membuat kebanyakan publik Indonesia bangga dan kagum. Obama lalu tidak lupa mengungkap kembali memorinya tentang masa lalunya di waktu kecil tentang Jakarta.
Ia ingat ketika itu gedung bertingkat baru ada Hotel Indonesia dan pusat perbelanjaan baru ada Sarinah. Artinya, dalam empat puluh tahunan terakhir, Indonesia baru mengalami kemajuan. Seperti sudah diduga banyak orang, Obama lalu menyebut sate dan bakso. Sayang dia tidak sebut nasi goreng dan rambutan yang juga konon adalah makanan kesayangannya. Obama bahkan meniru bagaimana suara penjual sate dan bakso menjajakan jualannya, sattee...baksoo, persis. Lalu dia sambung lagi dengan ucapan fasih yang tidak kebarat-baratan, enak ya.
Walhasil, lengkaplah sudah pidato Obama merebut hati orang Indonesia. Telinga orang Indonesia memang amat senang mendengar kalimat keberpihakan dan pujian-pujian. Mendengar kalimat-kalimat seperti itu "sakelar" nalar orang Indonesia biasanya serta-merta turun pada posisi off. Pikiran tidak jalan, dan yang ada hanya rasa kagum dan pujian balik. Obama memang hebat. Belum ada Presiden AS yang berpidato seperti itu.
Tapi, sekarang mari kita on-kan sakelar nalar kita. Seorang kepala negara yang sedang bertamu ke negara lainnya tentu saja akan berpidato memuji tuan rumah yang dikunjunginya. Memang begitu tata kramanya. Ditambah pula sang kepala negara, apalagi ia adalah seorang Presiden AS yang berambisi terus "menguasai" dunia sebagai polisi dunia, tentu selalu memanfaatkan momentum merebut simpati. Kenyataan bahwa Obama punya kenangan khusus tentang Indonesia dan masih hafal sedikit-sedikit bahasa Indonesia, justru menjadi modal utamanya meraih simpati lewat pidato.
Dengan sakelar nalar yang on tentu kita harus tetap jernih, bisa membedakan mana realitas pidato mana realitas lapangan. Kita harus pandai membedakan mana retorika mana fakta.
Ya, sambil senyum-senyum mendengar pidato Obama diulang-ulang di tv, mari kita ingat juga fakta sepak terjang AS meluluh-lantakkan Irak, masih terus menggempur Afghanistan, mengelus-elus Israel sebagai anak emas sekaligus anak brutalnya yang bertugas khusus menciptakan ketegangan di Timur Tengah. Juga jangan kita lupa bagaimana di negeri kita sendiri, kekayaan alam kita dikuras atas nama kerja sama investasi tapi tidak adil, dan kelak hanya akan menyisakan sampah dan kerusakan lingkungan.
Mungkin tak ada rasa curiga berlebihan atau buruk sangka yang mengusik yang dapat mengganjal di hati dan meninggalkan luka batin. Juga tak ada kesan buruk di hati yang bersumber dari akal bulus seorang pengecut atau seorang yang hanya ingin menebar pesona. Daya pesona dari tampilan Obama hanyalah akibat yang lahir dari ketulusan budi dan sikap seorang yang jauh dari mentalitas dan sikap kepura-puraan.
Namun, tanpa mengurangi kesan ketulusan yang berhasil terbangun melalui gaya beretorika presiden berkulit hitam pertama AS, kita pun harus tetap bersikap politik yang objektif dan nasionalis sejati. Kita harus bisa membedakan Barack Obama pada satu sisi sebagai seorang yang menghabiskan masa kanak-kanaknya di Indonesia, berayah tiri seorang Indonesia, dan memiliki seorang ibu Anglo-Jerman yang selama puluhan tahun telah melayani dan mengabdi rakyat Indonesia, dan pada sisi lain sebagai presiden dari sebuah negara adikuasa yang menjalani misi negaranya sebagai polisi dunia.
Harus diakui bahwa sepak terjang politik kekuasaan AS selama ini bersama negara-negara sepersekutuan maju yang dikomandaninya telah melahirkan kesenjangan yang terus-menerus melebar antara negara-negara maju yang kaya dan negara-negara yang sedang berkembang atau tertinggal yang dibelenggu kemiskinan dan menjadi korban pelanggaran HAM serta ketidakadilan.
Oleh karena itu, ketulusan hati dan sikap Barack Obama sebagai Presiden AS seharusnya dapat dimanfaatkan untuk menata kembali hubungan bilateral antara kedua negara secara lebih adil, manusiawi, dan bertanggung jawab. Betapa tololnya kita sebagai bangsa yang sudah merdeka ketika tetap membiarkan diri tereksploitasi secara tidak manusiawi dan tidak adil oleh AS bersama pihak asing lain yang menjadi mitra usaha AS.
Kekayaan alam kita seperti kandungan perut bumi yang kaya dengan berbagai jenis logam seperti emas, nikel, gas, minyak bumi, dan kandungan yang lain semakin habis terkuras oleh berbagai perusahaan raksasa AS dan sekutu bisnisnya, bukan untuk manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia.
Pihak pengusaha asing dan rakyat dalam negaranya semakin sejahtera, dan kita yang terkuras bukan saja semakin miskin dan tak berdaya, melainkan juga semakin kehilangan kepastian masa depan. Seharusnya, kita berkewajiban memelihara harga diri dan martabat kita sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat sehingga benar-benar menjadi tuan di negeri sendiri dan tidak bersubordinasi pada AS dan sekutunya yang sesungguhnya mengutamakan kepentingan bangsa dan negaranya.
Betapa konyolnya bangsa dan negeri ini jika para pemimpinnya turut terbawa arus kepentingan sendiri dengan menumpang pada kepentingan bangsa lain yang mencari keuntungan dan menambah kesejahteraan rakyatnya dengan mengeruk isi rahim Ibu Pertiwi. Menjadi keharusan moral politik bangsa ini untuk memanfaatkan Presiden AS Barack Obama yang mencintai Incdonesia dan menghayati kehidupan bangsa ini yang majemuk untuk merundingkan kembali makna dan tujuan kerja sama Indonesia-AS dalam semua bidang.
Kerja sama yang selama ini hanya lebih menguntungkan AS supaya ditata kembali demi tegaknya nilai kemanusiaan dan keadilan yang pada hakikatnya menjadi hak setiap bangsa yang merdeka dan berdaulat di negerinya sendiri di tengah kemerdekaan bangsa-bangsa di atas planet bumi milik bersama. Seharusnya kita dapat hidup berdampingan dengan berhati tulus tanpa saling menjerat dengan akal bulus yang hipokrit.
Memang luar biasa, ketika Presiden Amerika Serikat, Barack Obama berpidato di hadapan 7.500 undangan di Balairung Universitas Indonesia, dalam 30 menit mendapat aplaus 27 kali. Tidak mengherankan, sebab dari mulut Obama meluncur kata-kata yang sangat disukai telinga orang Indonesia, kalimat-kalimat pujian dan keberpihakan. Obama mengawali pidatonya dengan assalamu alaikum dan salam sejahtera. Tak pelak rangkulan simpati sudah dia mulai. Apalagi disusul dengan kalimat pulang kampung nih, tawa dan tepuk tangan lalu menggema.
Tidak kurang 40 kali orang nomor satu AS itu menyelipkan bahasa Indonesia yang cukup fasih, lebih fasih dari bahasa Indonesianya artis Cinta Laura dan Manohara. Obama memang menyatakan bahwa Indonesia adalah bagian dari dirinya dan itu telah membuat kebanyakan publik Indonesia bangga dan kagum. Obama lalu tidak lupa mengungkap kembali memorinya tentang masa lalunya di waktu kecil tentang Jakarta.
Ia ingat ketika itu gedung bertingkat baru ada Hotel Indonesia dan pusat perbelanjaan baru ada Sarinah. Artinya, dalam empat puluh tahunan terakhir, Indonesia baru mengalami kemajuan. Seperti sudah diduga banyak orang, Obama lalu menyebut sate dan bakso. Sayang dia tidak sebut nasi goreng dan rambutan yang juga konon adalah makanan kesayangannya. Obama bahkan meniru bagaimana suara penjual sate dan bakso menjajakan jualannya, sattee...baksoo, persis. Lalu dia sambung lagi dengan ucapan fasih yang tidak kebarat-baratan, enak ya.
Walhasil, lengkaplah sudah pidato Obama merebut hati orang Indonesia. Telinga orang Indonesia memang amat senang mendengar kalimat keberpihakan dan pujian-pujian. Mendengar kalimat-kalimat seperti itu "sakelar" nalar orang Indonesia biasanya serta-merta turun pada posisi off. Pikiran tidak jalan, dan yang ada hanya rasa kagum dan pujian balik. Obama memang hebat. Belum ada Presiden AS yang berpidato seperti itu.
Tapi, sekarang mari kita on-kan sakelar nalar kita. Seorang kepala negara yang sedang bertamu ke negara lainnya tentu saja akan berpidato memuji tuan rumah yang dikunjunginya. Memang begitu tata kramanya. Ditambah pula sang kepala negara, apalagi ia adalah seorang Presiden AS yang berambisi terus "menguasai" dunia sebagai polisi dunia, tentu selalu memanfaatkan momentum merebut simpati. Kenyataan bahwa Obama punya kenangan khusus tentang Indonesia dan masih hafal sedikit-sedikit bahasa Indonesia, justru menjadi modal utamanya meraih simpati lewat pidato.
Dengan sakelar nalar yang on tentu kita harus tetap jernih, bisa membedakan mana realitas pidato mana realitas lapangan. Kita harus pandai membedakan mana retorika mana fakta.
Ya, sambil senyum-senyum mendengar pidato Obama diulang-ulang di tv, mari kita ingat juga fakta sepak terjang AS meluluh-lantakkan Irak, masih terus menggempur Afghanistan, mengelus-elus Israel sebagai anak emas sekaligus anak brutalnya yang bertugas khusus menciptakan ketegangan di Timur Tengah. Juga jangan kita lupa bagaimana di negeri kita sendiri, kekayaan alam kita dikuras atas nama kerja sama investasi tapi tidak adil, dan kelak hanya akan menyisakan sampah dan kerusakan lingkungan.
Mungkin tak ada rasa curiga berlebihan atau buruk sangka yang mengusik yang dapat mengganjal di hati dan meninggalkan luka batin. Juga tak ada kesan buruk di hati yang bersumber dari akal bulus seorang pengecut atau seorang yang hanya ingin menebar pesona. Daya pesona dari tampilan Obama hanyalah akibat yang lahir dari ketulusan budi dan sikap seorang yang jauh dari mentalitas dan sikap kepura-puraan.
Namun, tanpa mengurangi kesan ketulusan yang berhasil terbangun melalui gaya beretorika presiden berkulit hitam pertama AS, kita pun harus tetap bersikap politik yang objektif dan nasionalis sejati. Kita harus bisa membedakan Barack Obama pada satu sisi sebagai seorang yang menghabiskan masa kanak-kanaknya di Indonesia, berayah tiri seorang Indonesia, dan memiliki seorang ibu Anglo-Jerman yang selama puluhan tahun telah melayani dan mengabdi rakyat Indonesia, dan pada sisi lain sebagai presiden dari sebuah negara adikuasa yang menjalani misi negaranya sebagai polisi dunia.
Harus diakui bahwa sepak terjang politik kekuasaan AS selama ini bersama negara-negara sepersekutuan maju yang dikomandaninya telah melahirkan kesenjangan yang terus-menerus melebar antara negara-negara maju yang kaya dan negara-negara yang sedang berkembang atau tertinggal yang dibelenggu kemiskinan dan menjadi korban pelanggaran HAM serta ketidakadilan.
Oleh karena itu, ketulusan hati dan sikap Barack Obama sebagai Presiden AS seharusnya dapat dimanfaatkan untuk menata kembali hubungan bilateral antara kedua negara secara lebih adil, manusiawi, dan bertanggung jawab. Betapa tololnya kita sebagai bangsa yang sudah merdeka ketika tetap membiarkan diri tereksploitasi secara tidak manusiawi dan tidak adil oleh AS bersama pihak asing lain yang menjadi mitra usaha AS.
Kekayaan alam kita seperti kandungan perut bumi yang kaya dengan berbagai jenis logam seperti emas, nikel, gas, minyak bumi, dan kandungan yang lain semakin habis terkuras oleh berbagai perusahaan raksasa AS dan sekutu bisnisnya, bukan untuk manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia.
Pihak pengusaha asing dan rakyat dalam negaranya semakin sejahtera, dan kita yang terkuras bukan saja semakin miskin dan tak berdaya, melainkan juga semakin kehilangan kepastian masa depan. Seharusnya, kita berkewajiban memelihara harga diri dan martabat kita sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat sehingga benar-benar menjadi tuan di negeri sendiri dan tidak bersubordinasi pada AS dan sekutunya yang sesungguhnya mengutamakan kepentingan bangsa dan negaranya.
Betapa konyolnya bangsa dan negeri ini jika para pemimpinnya turut terbawa arus kepentingan sendiri dengan menumpang pada kepentingan bangsa lain yang mencari keuntungan dan menambah kesejahteraan rakyatnya dengan mengeruk isi rahim Ibu Pertiwi. Menjadi keharusan moral politik bangsa ini untuk memanfaatkan Presiden AS Barack Obama yang mencintai Incdonesia dan menghayati kehidupan bangsa ini yang majemuk untuk merundingkan kembali makna dan tujuan kerja sama Indonesia-AS dalam semua bidang.
Kerja sama yang selama ini hanya lebih menguntungkan AS supaya ditata kembali demi tegaknya nilai kemanusiaan dan keadilan yang pada hakikatnya menjadi hak setiap bangsa yang merdeka dan berdaulat di negerinya sendiri di tengah kemerdekaan bangsa-bangsa di atas planet bumi milik bersama. Seharusnya kita dapat hidup berdampingan dengan berhati tulus tanpa saling menjerat dengan akal bulus yang hipokrit.
Kebanyakan kita memang senang dengan pidato Obama yang enak di telinga. Kita memang sudah terbiasa seperti itu, terlena mendengar pidato dan janji pejabat dan politikus saat berkampanye dalam pemilu. Makanya tidak heran, klop antara mulut Obama (ketika berpidato) dan telinga orang Indonesia mendengar pidato itu. Gunung Merapi pun terlupakan sejenak.....
Pramudya Ksatria Budiman
Marack Obama
,
Pidato Obama