Mi instan merek Indomie dinyatakan dilarang di Taiwan. Alasannya, makanan populer di kalangan menengah ini ditengarai mengandung dua bahan pengawet yang terlarang, yaitu methyl p-hydroxybenzoate dan benzoic acid.
Menurut pihak berwenang Taiwan, kedua unsur itu hanya boleh digunakan untuk membuat kosmetik. Konsekuensinya, sejak Jumat, 8 Oktober 2010 pekan lalu, Taiwan mengumumkan penarikan semua produk Indomie dari pasaran. Selain di Taiwan, dua jaringan supermarket terkemuka di Hong Kong untuk sementara waktu juga tidak menjual Indomie yang populer di Indonesia itu.
Zat yang menghebohkan itu, methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat), menurut praktisi kosmetik, A Dessy Ratnaningtyas, adalah bahan pengawet agar produk tahan lama atau tidak cepat membusuk. Umumnya dikenal pula dengan nama nipagin yang merupakan salah satu nama dagang yang terkenal. "Kalau kita analogikan dengan kamera, itu sama dengan Kodak," katanya.
Di dunia kosmetik, batas penggunaan nipagin tidak boleh lebih dari 0,15%. "Keduanya adalah bahan kimia. Jadi memang untuk tubuh pasti dianggap benda asing, jika terakumulasi bisa berbahaya."
Hal yang sama diungkapkan Ketua Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Kustantinah. Dia membenarkan zat yang dipersoalkan di Taiwan, juga dikenal dengan nama nipagin. Indomie, menurut dia, memang mengandung zat kimia tersebut. Zat pengawet Nipagin itu juga ada di kecap yang merupakan bagian dari mi instan.
"Kadar bahan kimia di Indomie masih dalam batas wajar sehingga aman untuk dikonsumsi," katanya. Saat ini ada sekitar 663 mi instan lokal yang terdaftar di BPOM. Sedang mi impor ada 466 item. Semua itu dinyatakan aman dikonsumsi.
Tetapi, jika dikonsumsi secara berlebihan, menurut Kustantinah, dapat muntah-muntah dan risiko berat bisa terkena penyakit kanker. "Apapun yang terkandung bila dikonsumsi berlebihan berbahaya bagi kesehatan," katanya.
Pertanyaannya, mengapa zat tersebut dilarang di Taiwan, namun diizinkan di Indonesia?
Menurut Kustantinah, Nipagin dalam kecap dari produk mi instan memang diizinkan dengan batasan 250 mg per kilogram. Dalam makanan lain kecuali daging, ikan, dan unggas, batas maksimal adalah 1.000 mg per kilogram.
Di Indonesia, kata dia, regulasi keamanan mutu dan gizi produk pangan olahan sudah mengacu kepada persyaratan internasional, yaitu 'Codex Alimentarius Commission' yang dibuat berdasarkan kajian risiko. Indonesia adalah anggota Codex. “Sedangkan, Taiwan bukan anggota Codex," ujarnya.
Nah, rupanya produk Indomie yang beredar di Taiwan adalah produk yang seharusnya dikonsumsi untuk masyarakat Indonesia. "Iya, seperti itu. Barang (Indomie) yang ditemukan di sana adalah produk yang harusnya dikonsumsi di Indonesia," kata Bambang Mulyano, Kepala Bidang Perdagangan Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) untuk Taipei di gedung DPR, Senin 11 Oktober 2010.
Menurutnya, Indomie yang dikonsumsi di Taiwan seharusnya berbeda dengan di Indonesia. Namun, produk di Indonesia juga dijual di Taiwan. Bahkan, laporan kasus Indomie ini sudah masuk sekitar empat bulan lalu. "Laporannya dari sana (Taiwan). Isinya, mohon klarifikasi, ada produk Indomie berbahan pengawet tidak sesuai dengan standar Taiwan," terang Bambang.
Ahli pangan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Dedi Fardiaz membenarkan dua bahan pengawet yang diributkan Taiwan dan Hong Kong sebenarnya bahan umum yang biasa digunakan. "Itu bukan bahan berbahaya. Itu bahan tambahan pangan. Dua bahan itu diizinkan," kata Dedi Fardiaz.
Persoalannya, kata dia, bisa saja kedua negara menerapkan standar yang berbeda. Menurut pria peraih Phd ilmu pangan dari Michigan State University, Amerika Serikat ini, yang perlu diperhatikan apakah negara itu melarang dua jenis bahan pengawet itu atau menetapkan batas atas yang rendah.
"Penggunaan bahan itu tetap harus ada batasnya," kata mantan Kepala Deputi Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM) ini. Untuk pasar Indonesia, sepanjang sudah mendapat sertifikat identitas MD (makanan dalam negeri) berarti produk itu aman dan lolos uji.
Sekjen Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi), Franky Sibarani, ketika ditanya VIVAnews, persoalan bahwa Indomie mengandung bahan pengawet E218 (Methyl P-Hydroxybenzoate) sudah terdengar sebelum Lebaran awal September 2010.
Menurut Franky, dalam laporan yang diterima saat itu, Taiwan sudah melansir soal temuan itu dan waktu dilakukan pengecekan sejumlah fakta ditemukan. "Kuat dugaan yang terjadi adalah adanya paralel impor, yakni barang yang diimpor oleh importir Taiwan ternyata bukan langsung dari produsen (produk khusus Taiwan),” katanya.
Direktur PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk Franky Welirang membenarkan adanya perbedaan spesifikasi dari masing-masing negara. Menurut Komisaris di PT ICBP, kemungkinan memang terjadi paralel impor untuk konsumen Taiwan. “Bisa saja tapi kami tidak bisa mengontrol soal itu,” katanya.
Menanggapi kehebohan produk Indomie, Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih mengaku belum mengeluarkan imbauan apapun atas penarikan produk mi instan itu. "Kami sedang menelusuri. Karena kami belum tahu, apakah Indomie yang sama yang dijual di Indonesia atau bagaimana," kata dia.
Sedangkan, Kamar Dagang dan Indonesia (Kadin) akan mengkaji upaya mempersulit masuknya produk asing ke Indonesia sebagai balasan atas larangan produk Indonesia beredar di sana.
"Kalau produk-produk Indonesia di luar negeri dilarang, Indonesia harus mengambil sikap juga. Apakah perlu mempersulit produk-produk luar yang akan masuk ke dalam negeri? Ini semua terkait dengan non tariffs barriers (hambatan non tarif)," kata Ketua Umum Kadin, Suryo Bambang Sulisto, di HIPMI Centre, Jakarta, Senin 11 Oktober 2010.
Untuk membaca lebih lanjut tentang Para Hydroxi Benzoate (Paraben) silahkan Klik Disini
Source :
http://fokus.vivanews.com/
http://www.youtube.com/watch?v=i6CbMMMLtyg
Menurut pihak berwenang Taiwan, kedua unsur itu hanya boleh digunakan untuk membuat kosmetik. Konsekuensinya, sejak Jumat, 8 Oktober 2010 pekan lalu, Taiwan mengumumkan penarikan semua produk Indomie dari pasaran. Selain di Taiwan, dua jaringan supermarket terkemuka di Hong Kong untuk sementara waktu juga tidak menjual Indomie yang populer di Indonesia itu.
Zat yang menghebohkan itu, methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat), menurut praktisi kosmetik, A Dessy Ratnaningtyas, adalah bahan pengawet agar produk tahan lama atau tidak cepat membusuk. Umumnya dikenal pula dengan nama nipagin yang merupakan salah satu nama dagang yang terkenal. "Kalau kita analogikan dengan kamera, itu sama dengan Kodak," katanya.
Di dunia kosmetik, batas penggunaan nipagin tidak boleh lebih dari 0,15%. "Keduanya adalah bahan kimia. Jadi memang untuk tubuh pasti dianggap benda asing, jika terakumulasi bisa berbahaya."
Hal yang sama diungkapkan Ketua Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Kustantinah. Dia membenarkan zat yang dipersoalkan di Taiwan, juga dikenal dengan nama nipagin. Indomie, menurut dia, memang mengandung zat kimia tersebut. Zat pengawet Nipagin itu juga ada di kecap yang merupakan bagian dari mi instan.
"Kadar bahan kimia di Indomie masih dalam batas wajar sehingga aman untuk dikonsumsi," katanya. Saat ini ada sekitar 663 mi instan lokal yang terdaftar di BPOM. Sedang mi impor ada 466 item. Semua itu dinyatakan aman dikonsumsi.
Tetapi, jika dikonsumsi secara berlebihan, menurut Kustantinah, dapat muntah-muntah dan risiko berat bisa terkena penyakit kanker. "Apapun yang terkandung bila dikonsumsi berlebihan berbahaya bagi kesehatan," katanya.
Pertanyaannya, mengapa zat tersebut dilarang di Taiwan, namun diizinkan di Indonesia?
Menurut Kustantinah, Nipagin dalam kecap dari produk mi instan memang diizinkan dengan batasan 250 mg per kilogram. Dalam makanan lain kecuali daging, ikan, dan unggas, batas maksimal adalah 1.000 mg per kilogram.
Di Indonesia, kata dia, regulasi keamanan mutu dan gizi produk pangan olahan sudah mengacu kepada persyaratan internasional, yaitu 'Codex Alimentarius Commission' yang dibuat berdasarkan kajian risiko. Indonesia adalah anggota Codex. “Sedangkan, Taiwan bukan anggota Codex," ujarnya.
Nah, rupanya produk Indomie yang beredar di Taiwan adalah produk yang seharusnya dikonsumsi untuk masyarakat Indonesia. "Iya, seperti itu. Barang (Indomie) yang ditemukan di sana adalah produk yang harusnya dikonsumsi di Indonesia," kata Bambang Mulyano, Kepala Bidang Perdagangan Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) untuk Taipei di gedung DPR, Senin 11 Oktober 2010.
Menurutnya, Indomie yang dikonsumsi di Taiwan seharusnya berbeda dengan di Indonesia. Namun, produk di Indonesia juga dijual di Taiwan. Bahkan, laporan kasus Indomie ini sudah masuk sekitar empat bulan lalu. "Laporannya dari sana (Taiwan). Isinya, mohon klarifikasi, ada produk Indomie berbahan pengawet tidak sesuai dengan standar Taiwan," terang Bambang.
Ahli pangan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Dedi Fardiaz membenarkan dua bahan pengawet yang diributkan Taiwan dan Hong Kong sebenarnya bahan umum yang biasa digunakan. "Itu bukan bahan berbahaya. Itu bahan tambahan pangan. Dua bahan itu diizinkan," kata Dedi Fardiaz.
Persoalannya, kata dia, bisa saja kedua negara menerapkan standar yang berbeda. Menurut pria peraih Phd ilmu pangan dari Michigan State University, Amerika Serikat ini, yang perlu diperhatikan apakah negara itu melarang dua jenis bahan pengawet itu atau menetapkan batas atas yang rendah.
"Penggunaan bahan itu tetap harus ada batasnya," kata mantan Kepala Deputi Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM) ini. Untuk pasar Indonesia, sepanjang sudah mendapat sertifikat identitas MD (makanan dalam negeri) berarti produk itu aman dan lolos uji.
Sekjen Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi), Franky Sibarani, ketika ditanya VIVAnews, persoalan bahwa Indomie mengandung bahan pengawet E218 (Methyl P-Hydroxybenzoate) sudah terdengar sebelum Lebaran awal September 2010.
Menurut Franky, dalam laporan yang diterima saat itu, Taiwan sudah melansir soal temuan itu dan waktu dilakukan pengecekan sejumlah fakta ditemukan. "Kuat dugaan yang terjadi adalah adanya paralel impor, yakni barang yang diimpor oleh importir Taiwan ternyata bukan langsung dari produsen (produk khusus Taiwan),” katanya.
Direktur PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk Franky Welirang membenarkan adanya perbedaan spesifikasi dari masing-masing negara. Menurut Komisaris di PT ICBP, kemungkinan memang terjadi paralel impor untuk konsumen Taiwan. “Bisa saja tapi kami tidak bisa mengontrol soal itu,” katanya.
Menanggapi kehebohan produk Indomie, Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih mengaku belum mengeluarkan imbauan apapun atas penarikan produk mi instan itu. "Kami sedang menelusuri. Karena kami belum tahu, apakah Indomie yang sama yang dijual di Indonesia atau bagaimana," kata dia.
Sedangkan, Kamar Dagang dan Indonesia (Kadin) akan mengkaji upaya mempersulit masuknya produk asing ke Indonesia sebagai balasan atas larangan produk Indonesia beredar di sana.
"Kalau produk-produk Indonesia di luar negeri dilarang, Indonesia harus mengambil sikap juga. Apakah perlu mempersulit produk-produk luar yang akan masuk ke dalam negeri? Ini semua terkait dengan non tariffs barriers (hambatan non tarif)," kata Ketua Umum Kadin, Suryo Bambang Sulisto, di HIPMI Centre, Jakarta, Senin 11 Oktober 2010.
Untuk membaca lebih lanjut tentang Para Hydroxi Benzoate (Paraben) silahkan Klik Disini
Source :
http://fokus.vivanews.com/
http://www.youtube.com/watch?v=i6CbMMMLtyg
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori
Indomie
/
Methyl Paraben
/
Methyl Parahidroksi benzoat
/
Nipagin
dengan judul
Kasus Penarikan Produk Indomie di Taiwan
. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL
https://sisatruk.blogspot.com/2010/10/kasus-penarikan-produk-indomie-di-taiwan.html
.
Artikel Terkait Indomie , Methyl Paraben , Methyl Parahidroksi benzoat , Nipagin
Ditulis oleh:
Pramudya Ksatria Budiman
-
Rating : 4.5
Belum ada komentar untuk " Kasus Penarikan Produk Indomie di Taiwan "
Post a Comment
Beri komentar anda.