Minggu, 31/03/2013 13:33 WIB
Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) melihat intelijen gagal dalam kasus penyerangan LP II B, Cebongan, Sleman. Tak hanya itu, kegagalan intelijen sudah terjadi sejak kasus kekerasan Cikeusik, Pandeglang, Banten pada tahun 2011 lalu.
"Dalam kasus Cikeusik, konteks kebebasan beragama, kita mendapati sejumlah info. Diduga sebelum peristiwa pasti ada interaksi dari institusi yang belakangan kita ketahui sebagai korban.
Perseptifnya, ketika dia menyediakan info yang diberikan, info itu malah digunakan untuk pengambilan kebijakan yang salah," jelas Koordinator Kontras, Haris Azhar.
Hal ini disampaikan Haris dalam diskusi bertajuk 'Huru-hura dan Kekerasan di Indonesia, ke Mana Intelegen Negara?' di Rumah Makan Dapur Selera di Jalan Soepomo, Tebet, Jakarta Selatan, Minggu (31/3/2013).
Begitu juga dengan kasus penyerangan LP Cebongan, Sleman. Haris menduga sudah ada informasi mengenai potensi penyerangan tersebut.
"Jangankan intelijen, kalapasnya saja begitu menerima 11 nama. Dan 4 nama pelaku Hugos Cafe itu, sudah tahu, dia sudah punya insting bahwa bisa saja kayak OKU. Meskipun bentuknya lain," lanjutnya.
Haris mengatakan bahwa intelijen memang hadir. Namun dia mempertanyakan apakah informasi yang dimiliki intelijen telah diberikan kepada orang yang tepat dan menghasilkan kebijakan yang cepat?
"Saat ini kita mempertanyaan kualitas intelijen di lapangan. Selain itu dipertanyakan, alurnya ke mana, dan kualitas ditentukan oleh keberpihakan?" kata Haris.
Haris menambahkan, sejak UU Intelijen disahkan pada tahun 2011, belum ada peningkatan kualitas dari intelijen. Di dalam catatan KontraS, angka kekerasan pada tahun 2011 ada 650 kasus. Sementara pada tahun 2012 terjadi 704 kasus.
"Angkanya naik sedikit, tetapi jumlah korban yang berlipat dibanding sebelumnya. Kalau menggunakan perspektif intelijen, intelijen adalah yang mencegah perluasan kekerasan," tuturnya.
Kegagalan intelijen juga dilihat dari adanya RUU Kamnas, Inpres No.2 tahun 2013 tentang penanganan gangguan keamanan dalam negeri. UU ini muncul karena UU Intelijen dinilai gagal berkontribusi dalam keamanan dan kekerasan.
"Kalau secara statistik, angka kekerasan masih tinggi. Kalau pakai kualitatif, secara kualitas masih banyak kejahatan yang buruk yang digunakan oleh kelompok yang salah. Misalnya kita tidak bisa mengubah cara intelijen hari ini, maka saya pikir kita cuma ganti nama tahun saja. Karena gaya intelijen tetap model Orba," kata Haris.
(sip/mad)
Belum ada komentar untuk " KontraS: Kasus Cikeusik dan LP Sleman Bukti Kegagalan Kerja Intelijen "
Post a Comment
Beri komentar anda.