Komisi Pemilihan Umum (KPU) rupanya tidak hanya disorot akibat amburadulnya daftar pemilih tetap (DPT) atau semrawutnya distribusi surat suara di berbagai daerah di Indonesia, juga bukan hanya logistik pemilu yang serba terpusat dan memicu persoalan tersendiri bagi jajaran KPU kabupaten/kota, yakni adanya surat suara yang tertukar.
Lebih dari itu, KPU disorot karena leletnya teknologi informasi (information technology/IT) yang disebut-sebut menelan biaya puluhan miliar itu.
Masyarakat tentu patut bertanya, mengapa sebuah teknologi canggih bisa gagal menjalankan fungsi-fungsi teknologinya, malah sangat jauh dari target. Betulkah kesalahannya pada teknologi, pada orangnya, atau pada sistemnya secara keseluruhan.
Sepertinya kenyataan ini melunturkan kepercayaan kita pada teknologi, termasuk kepada siapa yang memilih teknologinya. Sebuah ketidaksanggupan dipertontonkan ke publik, bahwa di hari penutupan tabulasi nasional, mereka hanya mampu menghitung kurang dari sepuluh persen suara.
Padahal puluhan miliar sudah digelontorkan untuk melengkapi teknologi informasi KPU dari kabupaten hingga pusat.
Nah, bila KPK akhirnya mencium bau tak sedap dalam pakat-paket pengadaan IT KPU, akhirnya menjadi sebuah kewajaran. Betapa tidak, kita tentu bertanya betapa canggihnya sebuah personal computer (PC) yang dibanderol Rp 30 juta per unitnya.
Demikian pula sebuah scanner seharga Rp22,5 juta per unit, dimana setiap KPU kabupaten/kota mendapat jatah dua unit. Kemana semua klaim canggih dan harga wah itu. Tentu tidak salah pula bila muncul dugaan pengadaan barang yang mengada-ada. Sayang sekali, harga mahal pemilu tidak sebanding dengan hasilnya.
KPK tidak main-main, Antasari Azhar sang nakhoda mengaku sudah menginstruksikan Wakil Ketua Bidang Pencegahan KPK, Haryono Umar untuk melakukan pengumpulan data awal sebagai bahan evaluasi KPU sebelum melakukan penyelidikan.
Menghadapi persoalan ini, KPU sebaiknya legowo dan membantu proses pemeriksaan jika KPK benar-benar melakukannya kelak. Cukuplah beberapa personel KPU periode sebelumnya menjadi contoh, betapa proyek pemilu bisa menyeret siapa saja, tak pandang sebersih apa dia sebelumnya.
Kini, gejala itu tampak di depan mata, personel KPU harus mampu mempertanggungjawabkan hasil kerjanya, baik secara individual maupun institusi.
Melihat kredibiltas KPK selama ini, maka kita tentu percaya sekaligus berharap agar masalah ini benar-benar dapat dituntaskan dengan baik. Tidak hanya karena anggaran negara yang digunakan sangat besar, melainkan karena hasil kerja di bawah harapan banyak pihak. Ini penting, mengingat pemilu presiden harus segera dipersiapkan, sementara persoalan pemilu legislatif belum juga tuntas.
Apa jadinya sebuah acara besar yang memilih para penyelenggara negara, bila prosesnya dipenuhi karut-marut dan bengkalai.
Sumber :Fajar Online.
Lebih dari itu, KPU disorot karena leletnya teknologi informasi (information technology/IT) yang disebut-sebut menelan biaya puluhan miliar itu.
Masyarakat tentu patut bertanya, mengapa sebuah teknologi canggih bisa gagal menjalankan fungsi-fungsi teknologinya, malah sangat jauh dari target. Betulkah kesalahannya pada teknologi, pada orangnya, atau pada sistemnya secara keseluruhan.
Sepertinya kenyataan ini melunturkan kepercayaan kita pada teknologi, termasuk kepada siapa yang memilih teknologinya. Sebuah ketidaksanggupan dipertontonkan ke publik, bahwa di hari penutupan tabulasi nasional, mereka hanya mampu menghitung kurang dari sepuluh persen suara.
Padahal puluhan miliar sudah digelontorkan untuk melengkapi teknologi informasi KPU dari kabupaten hingga pusat.
Nah, bila KPK akhirnya mencium bau tak sedap dalam pakat-paket pengadaan IT KPU, akhirnya menjadi sebuah kewajaran. Betapa tidak, kita tentu bertanya betapa canggihnya sebuah personal computer (PC) yang dibanderol Rp 30 juta per unitnya.
Demikian pula sebuah scanner seharga Rp22,5 juta per unit, dimana setiap KPU kabupaten/kota mendapat jatah dua unit. Kemana semua klaim canggih dan harga wah itu. Tentu tidak salah pula bila muncul dugaan pengadaan barang yang mengada-ada. Sayang sekali, harga mahal pemilu tidak sebanding dengan hasilnya.
KPK tidak main-main, Antasari Azhar sang nakhoda mengaku sudah menginstruksikan Wakil Ketua Bidang Pencegahan KPK, Haryono Umar untuk melakukan pengumpulan data awal sebagai bahan evaluasi KPU sebelum melakukan penyelidikan.
Menghadapi persoalan ini, KPU sebaiknya legowo dan membantu proses pemeriksaan jika KPK benar-benar melakukannya kelak. Cukuplah beberapa personel KPU periode sebelumnya menjadi contoh, betapa proyek pemilu bisa menyeret siapa saja, tak pandang sebersih apa dia sebelumnya.
Kini, gejala itu tampak di depan mata, personel KPU harus mampu mempertanggungjawabkan hasil kerjanya, baik secara individual maupun institusi.
Melihat kredibiltas KPK selama ini, maka kita tentu percaya sekaligus berharap agar masalah ini benar-benar dapat dituntaskan dengan baik. Tidak hanya karena anggaran negara yang digunakan sangat besar, melainkan karena hasil kerja di bawah harapan banyak pihak. Ini penting, mengingat pemilu presiden harus segera dipersiapkan, sementara persoalan pemilu legislatif belum juga tuntas.
Apa jadinya sebuah acara besar yang memilih para penyelenggara negara, bila prosesnya dipenuhi karut-marut dan bengkalai.
Sumber :Fajar Online.
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori
internet
/
Iptek
/
KPU
dengan judul
GAGALNYA KECANGGIHAN IT KPU
. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL
http://sisatruk.blogspot.com/2009/04/gagalnya-kecanggihan-it-kpu.html
.
Artikel Terkait internet , Iptek , KPU
Ditulis oleh:
Pramudya Ksatria Budiman
-
Rating : 4.5
Belum ada komentar untuk " GAGALNYA KECANGGIHAN IT KPU "
Post a Comment
Beri komentar anda.