Setiap manusia tentunya selalu berkeinginan untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak,...tak jarang muncul pertanyaan dalam hati kecil seseorang, "Siapakah saya?". "Mengapa tidak ada pemerataan hidup antara saya dan mereka?".
Namun pertanyaan seperti itu hanya muncul dari sosok seseorang yang tidak pernah puas dengan kehidupannya. Seseorang yang selalu berharap banyak dari apa yang tidak bisa diraihnya. Seseorang yang tidak bersyukur akan nikmat yang telah diperoleh. Karena pada dasarnya nikmat terbesar yang dianugerahkan oleh-Nya yang terkadang kita lupa untuk mensyukurinya adalah 'Kesehatan'. Kesehatan bukanlah segalanya, tapi tanpa kesehatan, segalanya tidak akan berarti.
Untuk tidak saling mempersalahkan, marilah kita renungkan sejenak, bahwa pada dasarnya hidup ini adalah perjuangan dan pengorbanan yang kesemuanya berlangsung dalam kefanaan. Jangan pernah ada kata menyesal dengan takdir yang telah digariskan oleh-Nya. Kita harus senantiasa berbuat yang lebih baik dan berguna bagi orang lain. Karena pada dasarnya sebaik-baik manusia adalah yang berguna bagi orang lain dan lingkungannya.
Di sebuah pagi yang cerah, disaat embun kian sirnah.....disebuah lokasi TPA , diatas hamparan sampah yang berserakan ternyata tersimpan harapan yang hanya dapat dilihat oleh sekumpulan pemulung, diantara bau busuk bercampur amis yang menyengat, sosok kumuh tanpa masker dengan setangkai pengait besi sebagai sahabat, tengah asyik memilih dan memilah sampah dari bongkaran sebuah truk.
Bau busuk yang dikerumuni ribuan ulat dan lalat, bukanlah merupakan penghalang bagi kumpulan pemulung tadi, mereka lalui semuanya dengan canda dan keceriaan. Mereka senantiasa bersyukur dan selalu berjuang tanpa pernah mengenal kata menyerah. Bagi mereka, diatas tumpukan sampah kotor dan berbau itu, tersimpan harapan hidup.
Mereka yang terkucil ke pinggiran, terbuang karena ganasnya struktur interaksi sosial, ganasnya kehidupan akibat sistem kemasyarakatan, kini menyatu bersama sampah dan barang rongsokan yang dekil, bau, dan menjijikkan untuk melahirkan sebuah harapan yang baru tentang kehidupan yang lebih baik.
Mereka bergerak ketika semburat merah matahari pecah di ufuk timur hingga semburat jingga matahari tampak temaram di ufuk barat. Melalui barang-barang bekas yang memberat di punggung, para pemulung kembali ke markas. Lantas, mereka memilah-milah dan mengumpulkan serpihan-serpihan sampah sesuai dengan jenisnya, untuk selanjutnya dijual kepada para penadah.
Mereka selalu bangun dan bekerja lebih dahulu dari matahari dan tiba kembali di gubuk reotnya setelah malam menjemput.
Inilah realitas kehidupan yang harus mereka jalani. Dari segi kesehatan, mereka tergolong orang-orang yang rentan akan penyakit, karena setiap hari harus bergelut ditengah gundukan sampah yang kotor dan berbau.
Jadi pemulung bukanlah harapan dan cita-cita. Tak seorang pun yang menginginkan predikat semacam itu melekat pada dirinya. Namun, situasi kemiskinan struktural yang sudah demikian menggurita di negeri ini, disadari atau tidak, telah melahirkan terciptanya pemulung sebagai mata pencaharian baru. Jangan salahkan mereka jika kehadirannya terpaksa mengganggu kenyamanan pandangan mata para pemuja gaya hidup materialistis dan hedonis.
Diantara manusia pada umumnya, mereka mungkin hina, tetapi sesungguhnya mereka sangat berarti dan senantiasa bersyukur menikmati hasil yang halal. Disamping itu, mereka juga melakukan sebuah pengabdian yang murni, mereka berjasa dalam menyelamatkan tanah. Karena pada dasarnya sampah-sampah yang mereka kumpulkan adalah sampah yang tidak dapat hancur dan terurai oleh mikroorganisme yang tentunya sangat mengganggu kesuburan dan struktur tanah itu sendiri.
Terima kasih kawan, terima kasih untuk "Laskar Mandiri", kalian telah selamatkan tanah kita yang semakin tandus ini. Semoga kalian bisa mendapatkan penghidupan yang lebih baik.
Namun pertanyaan seperti itu hanya muncul dari sosok seseorang yang tidak pernah puas dengan kehidupannya. Seseorang yang selalu berharap banyak dari apa yang tidak bisa diraihnya. Seseorang yang tidak bersyukur akan nikmat yang telah diperoleh. Karena pada dasarnya nikmat terbesar yang dianugerahkan oleh-Nya yang terkadang kita lupa untuk mensyukurinya adalah 'Kesehatan'. Kesehatan bukanlah segalanya, tapi tanpa kesehatan, segalanya tidak akan berarti.
Untuk tidak saling mempersalahkan, marilah kita renungkan sejenak, bahwa pada dasarnya hidup ini adalah perjuangan dan pengorbanan yang kesemuanya berlangsung dalam kefanaan. Jangan pernah ada kata menyesal dengan takdir yang telah digariskan oleh-Nya. Kita harus senantiasa berbuat yang lebih baik dan berguna bagi orang lain. Karena pada dasarnya sebaik-baik manusia adalah yang berguna bagi orang lain dan lingkungannya.
Di sebuah pagi yang cerah, disaat embun kian sirnah.....disebuah lokasi TPA , diatas hamparan sampah yang berserakan ternyata tersimpan harapan yang hanya dapat dilihat oleh sekumpulan pemulung, diantara bau busuk bercampur amis yang menyengat, sosok kumuh tanpa masker dengan setangkai pengait besi sebagai sahabat, tengah asyik memilih dan memilah sampah dari bongkaran sebuah truk.
Bau busuk yang dikerumuni ribuan ulat dan lalat, bukanlah merupakan penghalang bagi kumpulan pemulung tadi, mereka lalui semuanya dengan canda dan keceriaan. Mereka senantiasa bersyukur dan selalu berjuang tanpa pernah mengenal kata menyerah. Bagi mereka, diatas tumpukan sampah kotor dan berbau itu, tersimpan harapan hidup.
Mereka yang terkucil ke pinggiran, terbuang karena ganasnya struktur interaksi sosial, ganasnya kehidupan akibat sistem kemasyarakatan, kini menyatu bersama sampah dan barang rongsokan yang dekil, bau, dan menjijikkan untuk melahirkan sebuah harapan yang baru tentang kehidupan yang lebih baik.
Mereka bergerak ketika semburat merah matahari pecah di ufuk timur hingga semburat jingga matahari tampak temaram di ufuk barat. Melalui barang-barang bekas yang memberat di punggung, para pemulung kembali ke markas. Lantas, mereka memilah-milah dan mengumpulkan serpihan-serpihan sampah sesuai dengan jenisnya, untuk selanjutnya dijual kepada para penadah.
Mereka selalu bangun dan bekerja lebih dahulu dari matahari dan tiba kembali di gubuk reotnya setelah malam menjemput.
Inilah realitas kehidupan yang harus mereka jalani. Dari segi kesehatan, mereka tergolong orang-orang yang rentan akan penyakit, karena setiap hari harus bergelut ditengah gundukan sampah yang kotor dan berbau.
Jadi pemulung bukanlah harapan dan cita-cita. Tak seorang pun yang menginginkan predikat semacam itu melekat pada dirinya. Namun, situasi kemiskinan struktural yang sudah demikian menggurita di negeri ini, disadari atau tidak, telah melahirkan terciptanya pemulung sebagai mata pencaharian baru. Jangan salahkan mereka jika kehadirannya terpaksa mengganggu kenyamanan pandangan mata para pemuja gaya hidup materialistis dan hedonis.
Diantara manusia pada umumnya, mereka mungkin hina, tetapi sesungguhnya mereka sangat berarti dan senantiasa bersyukur menikmati hasil yang halal. Disamping itu, mereka juga melakukan sebuah pengabdian yang murni, mereka berjasa dalam menyelamatkan tanah. Karena pada dasarnya sampah-sampah yang mereka kumpulkan adalah sampah yang tidak dapat hancur dan terurai oleh mikroorganisme yang tentunya sangat mengganggu kesuburan dan struktur tanah itu sendiri.
Terima kasih kawan, terima kasih untuk "Laskar Mandiri", kalian telah selamatkan tanah kita yang semakin tandus ini. Semoga kalian bisa mendapatkan penghidupan yang lebih baik.
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori
Lingkungan
/
Renungan
dengan judul
LASKAR MANDIRI
. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL
http://sisatruk.blogspot.com/2009/10/laskar-mandiri.html
.
Artikel Terkait Lingkungan , Renungan
Ditulis oleh:
Pramudya Ksatria Budiman
-
Rating : 4.5
Belum ada komentar untuk " LASKAR MANDIRI "
Post a Comment
Beri komentar anda.