Televisi adalah salah satu media hiburan dan informasi yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat kita. Kemampuan audiovisual telah membuat televisi unggul dibanding dengan media informasi lainnya. Namun kita perlu khawatir berkenaan dengan dampak negatif televisi. Melalui acara-acara yang miskin akan unsur edukatif, nilai-nilai buruk yang jauh dari standar moralitas dapat tertanam pada diri para pemirsa.
Berkaitan dengan hal tersebut anak-anak merupakan kelompok paling rentan terkena pengaruh hal-hal buruk yang ditonjolkan melalui tayangan-tayangan televisi.
Para industrialis media televisi rupanya meyakini bahwa sebagian besar penonton televisi di Indonesia adalah insan yang haus akan berita dan sekaligus hiburan. Maka lahirlah sebuah genre jurnalisme televisi yang bertitel jurnalisme infotainment. Gaya pemberitaan ini merupakan paduan antara informasi dan hiburan yang terbukti ampuh untuk merebut hati para pemirsanya.
Infotainment merupakan paduan dua kata, yaitu informasi dan entertainment . Asumsi di balik kata ini adalah apa yang ditawarkan ke publik tidak sekadar informasi, tapi sedapat mungkin bisa menghibur. Bahkan aspek hiburan sering dikedepankan daripada tujuan dari informasi itu sendiri. Apa yang dikedepankan dari infotainment adalah sisi sensasional sebuah tayangan bukan kedalaman informasi, edukasi, dan kepentingan publik.
Infotainment kini telah berkembang menjadi semacam obat pelipur lara bagi pemirsa ditengah-tengah sebagian acara televisi yang mencekam bak horror karena dipenuhi tayangan berbau setan dan sepak terjang pelaku kriminal yang memiriskan hati, sorak tangis anak muda dan pendukungnya yang bernafsu menjadi bintang, berita bencana yang terjadi di mana-mana dan tingkah polah partai, politisi dan pemerintah yang bikin dahi berkenyit.
Penonton rupanya juga mulai bosan dengan tayangan sinetron yang sering tidak masuk akal jalan ceritanya, mengobrak-abrik perasaan tanpa logika dan hanya berputar-putar pada masalah itu-itu saja demi memperpanjang episode untuk meraup uang dari pemasang iklan.
Dengan teknik investigasi yang gigih, serius, tak kenal lelah bahkan seperti bisa menandingi para agen rahasia dan investigasi berita politik, infotainment mampu menghadirkan narasi, gambar dan dramatisasi yang memenuhi kebutuhan pemirsanya. Lihat saja bagaimana awak infotainment begitu all out berjuang untuk memenuhi rasa penasaran pemirsa atas gonjang-ganjing kehidupan asmara para selebriti. Mereka tahan berhari-hari duduk menunggu datangnya konfirmasi, rela memanjat pagar dan berhadapan dengan garangnya bodyguards demi mendapat gambar terbaik, bahkan orang-orang yang selama ini tidak termasuk dalam daftar sumber berita juga diwawancarai dengan serius.
Diam-diam atau sembunyi-sembunyi mengamati aktivitas orang lain adalah naluri dasar yang tersembunyi dalam diri manusia. Hasil jibaku awak infotaninment yang tak kenal lelah yang disiarkan layaknya siklus program berita dari pagi, siang, sore, petang dan malam hari mampu menyediakan bahan untuk memelihara naluri dasar tadi. Harus diakui model investigasi jurnalisme infotainment yang masih berumur muda ini telah menghasilkan berita-berita yang mencenggangkan.
Skandal-skandal yang dalam tersembunyi mampu mereka bongkar dan tak mungkin disangkal lagi. Jika saja diarena tinju mereka nampaknya telah memukul KO kerja-kerja aparat penegak hukum dalam membongkar skandal korupsi di negeri ini. Lewat kerja awak infotainment kita bisa mengintip perilaku dua insan berlainan jenis di sebuah kamar hotel. Dan gambar berdurasi tidak lebih dari satu setengah menit itu ternyata mempunyai kekuatan yang jauh lebih besar dari ribuan demonstran, karena tanpa orasi yang berkepanjang ternyata berhasil mencabut tahta anggota DPR RI dari kursi empuknya.
Ditinjau dari sisi tingkat budaya yang dipraktekkan, pada dasarnya sebagian besar masyarakat kita masih berada dalam tataran budaya oral. Maka model jurnalisme yang lazim dipraktekkan di Indonesia adalah jurnalisme omongan (Talk Journalism). Infotainment berangkat dari watak fundamental ini dengan menghadirnya pada ruang kehidupan masyarakat sehari-hari. Berita infotainment menjadi lebih kuat dari bius sinema (film bioskop) karena tidak memaksa pemirsa duduk diam dalam ruang gelap yang mengarahkan mata secara tunggal pada layar.
Interaksi akan semakin menjadi lebih nyata karena pada umumnya tayangan gosip juga memberi ruang komunikasi. Tidak sekedar suara tetapi juga gambar nyata, sebab seseorang siapapun dia bisa punya kesempatan untuk ’masuk TV’ jika mempunyai informasi yang valid berkaitan dengan issue yang sedang dibahas. Infotainment telah menghadirkan ruang bagi keasyikan mulut untuk membicarakan orang lain yang bebas dari ruang bisik-bisik. Maka kini di negara yang katanya dipenuhi dengan adat ketimuran yang oleh karenanya membicarakan urusan orang lain dianggap sebagai tidak sopan ternyata tidak demikian adanya.
Informasi bergambar dan bersuara yang hadir lewat televisi kita umumnya menyajikan gambaran ektrimitas. Pada satu sisi banyak tayangan yang hadir menyajikan mimpi yang melambung namun disisi lain banyak juga yang memiriskan hati lewat sajian berbagai macam derita lewat kabar bencana, kekerasan, kejahatan keji, ketidakpastian hukum, carut marut politik, ketidakmampuan pemerintah mengendalikan harga kebutuhan pokok dan deretan frustasi lainnya yang terkuat lewat demonstrasi di sana-sini.
Refleksi kehidupan nyata selebritis yang merupakan bintang pujaan, tokoh idola dan anutan yang ternyata hidupnya tidak mulus paling tidak hadir sebagai pelipur lara bagi para pemirsanya. Wajarlah jika kita sebagai masyarakat katrok dan ndeso ini sulit hidupnya sebab ternyata selebritipun demikian adanya. Infotainment hadir bak ’obat penenang’ bagi masyarakat lewat kehadiran pernak-pernik kehidupan selebriti yang ternyata mirip dengan ’derita sosial’ masyarakat biasa.
Dan kini adalah tugas para selibriti dari dunia politik dan pemerintahan untuk berolah pikir dan kebijakan guna menghasilkan ’obat penyembuh’ yang sesungguhnya bagi segenap penderitaan sosial masyarakatnya.
Pada tahun 2006, infotainment pernah diharamkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sebab aspek negatifnya lebih banyak daripada positifnya. Infotainment tidak lebih dari sekadar tayangan yang mempergunjingkan privasi orang lain yang sama sekali tidak berkaitan dengan kepentingan publik. Tentu ini melabrak nilai-nilai agama.
Kini, banyak teman-teman menulis dan melontarkan pertanyaan yang paling mendasar, " layakkah pekerja infotainment itu disebut wartawan? " Apakah karena mereka telah melakukan kerja-kerja jurnalistik, wawancara, pengungkapan fakta, atau proses peliputan, sehingga mereka juga pantas menyandang profesi wartawan? Ataukah mereka justru melanggar kode etik profesi wartawan?
Jika Luna Maya meluapkan emosinya dengan mengatakan "infotainment derajatnya lebih hina dari pelacur", maka kita cukup mengganti channel TV yang menayangkan infotainment dengan berita tentang dana talangan Bank Century yang bernilai Rp 6,7 triliun itu. Kalaupun tidak, cukup matikan TV anda!
Berkaitan dengan hal tersebut anak-anak merupakan kelompok paling rentan terkena pengaruh hal-hal buruk yang ditonjolkan melalui tayangan-tayangan televisi.
Para industrialis media televisi rupanya meyakini bahwa sebagian besar penonton televisi di Indonesia adalah insan yang haus akan berita dan sekaligus hiburan. Maka lahirlah sebuah genre jurnalisme televisi yang bertitel jurnalisme infotainment. Gaya pemberitaan ini merupakan paduan antara informasi dan hiburan yang terbukti ampuh untuk merebut hati para pemirsanya.
Infotainment merupakan paduan dua kata, yaitu informasi dan entertainment . Asumsi di balik kata ini adalah apa yang ditawarkan ke publik tidak sekadar informasi, tapi sedapat mungkin bisa menghibur. Bahkan aspek hiburan sering dikedepankan daripada tujuan dari informasi itu sendiri. Apa yang dikedepankan dari infotainment adalah sisi sensasional sebuah tayangan bukan kedalaman informasi, edukasi, dan kepentingan publik.
Infotainment kini telah berkembang menjadi semacam obat pelipur lara bagi pemirsa ditengah-tengah sebagian acara televisi yang mencekam bak horror karena dipenuhi tayangan berbau setan dan sepak terjang pelaku kriminal yang memiriskan hati, sorak tangis anak muda dan pendukungnya yang bernafsu menjadi bintang, berita bencana yang terjadi di mana-mana dan tingkah polah partai, politisi dan pemerintah yang bikin dahi berkenyit.
Penonton rupanya juga mulai bosan dengan tayangan sinetron yang sering tidak masuk akal jalan ceritanya, mengobrak-abrik perasaan tanpa logika dan hanya berputar-putar pada masalah itu-itu saja demi memperpanjang episode untuk meraup uang dari pemasang iklan.
Dengan teknik investigasi yang gigih, serius, tak kenal lelah bahkan seperti bisa menandingi para agen rahasia dan investigasi berita politik, infotainment mampu menghadirkan narasi, gambar dan dramatisasi yang memenuhi kebutuhan pemirsanya. Lihat saja bagaimana awak infotainment begitu all out berjuang untuk memenuhi rasa penasaran pemirsa atas gonjang-ganjing kehidupan asmara para selebriti. Mereka tahan berhari-hari duduk menunggu datangnya konfirmasi, rela memanjat pagar dan berhadapan dengan garangnya bodyguards demi mendapat gambar terbaik, bahkan orang-orang yang selama ini tidak termasuk dalam daftar sumber berita juga diwawancarai dengan serius.
Diam-diam atau sembunyi-sembunyi mengamati aktivitas orang lain adalah naluri dasar yang tersembunyi dalam diri manusia. Hasil jibaku awak infotaninment yang tak kenal lelah yang disiarkan layaknya siklus program berita dari pagi, siang, sore, petang dan malam hari mampu menyediakan bahan untuk memelihara naluri dasar tadi. Harus diakui model investigasi jurnalisme infotainment yang masih berumur muda ini telah menghasilkan berita-berita yang mencenggangkan.
Skandal-skandal yang dalam tersembunyi mampu mereka bongkar dan tak mungkin disangkal lagi. Jika saja diarena tinju mereka nampaknya telah memukul KO kerja-kerja aparat penegak hukum dalam membongkar skandal korupsi di negeri ini. Lewat kerja awak infotainment kita bisa mengintip perilaku dua insan berlainan jenis di sebuah kamar hotel. Dan gambar berdurasi tidak lebih dari satu setengah menit itu ternyata mempunyai kekuatan yang jauh lebih besar dari ribuan demonstran, karena tanpa orasi yang berkepanjang ternyata berhasil mencabut tahta anggota DPR RI dari kursi empuknya.
Ditinjau dari sisi tingkat budaya yang dipraktekkan, pada dasarnya sebagian besar masyarakat kita masih berada dalam tataran budaya oral. Maka model jurnalisme yang lazim dipraktekkan di Indonesia adalah jurnalisme omongan (Talk Journalism). Infotainment berangkat dari watak fundamental ini dengan menghadirnya pada ruang kehidupan masyarakat sehari-hari. Berita infotainment menjadi lebih kuat dari bius sinema (film bioskop) karena tidak memaksa pemirsa duduk diam dalam ruang gelap yang mengarahkan mata secara tunggal pada layar.
Interaksi akan semakin menjadi lebih nyata karena pada umumnya tayangan gosip juga memberi ruang komunikasi. Tidak sekedar suara tetapi juga gambar nyata, sebab seseorang siapapun dia bisa punya kesempatan untuk ’masuk TV’ jika mempunyai informasi yang valid berkaitan dengan issue yang sedang dibahas. Infotainment telah menghadirkan ruang bagi keasyikan mulut untuk membicarakan orang lain yang bebas dari ruang bisik-bisik. Maka kini di negara yang katanya dipenuhi dengan adat ketimuran yang oleh karenanya membicarakan urusan orang lain dianggap sebagai tidak sopan ternyata tidak demikian adanya.
Informasi bergambar dan bersuara yang hadir lewat televisi kita umumnya menyajikan gambaran ektrimitas. Pada satu sisi banyak tayangan yang hadir menyajikan mimpi yang melambung namun disisi lain banyak juga yang memiriskan hati lewat sajian berbagai macam derita lewat kabar bencana, kekerasan, kejahatan keji, ketidakpastian hukum, carut marut politik, ketidakmampuan pemerintah mengendalikan harga kebutuhan pokok dan deretan frustasi lainnya yang terkuat lewat demonstrasi di sana-sini.
Refleksi kehidupan nyata selebritis yang merupakan bintang pujaan, tokoh idola dan anutan yang ternyata hidupnya tidak mulus paling tidak hadir sebagai pelipur lara bagi para pemirsanya. Wajarlah jika kita sebagai masyarakat katrok dan ndeso ini sulit hidupnya sebab ternyata selebritipun demikian adanya. Infotainment hadir bak ’obat penenang’ bagi masyarakat lewat kehadiran pernak-pernik kehidupan selebriti yang ternyata mirip dengan ’derita sosial’ masyarakat biasa.
Dan kini adalah tugas para selibriti dari dunia politik dan pemerintahan untuk berolah pikir dan kebijakan guna menghasilkan ’obat penyembuh’ yang sesungguhnya bagi segenap penderitaan sosial masyarakatnya.
Pada tahun 2006, infotainment pernah diharamkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sebab aspek negatifnya lebih banyak daripada positifnya. Infotainment tidak lebih dari sekadar tayangan yang mempergunjingkan privasi orang lain yang sama sekali tidak berkaitan dengan kepentingan publik. Tentu ini melabrak nilai-nilai agama.
Kini, banyak teman-teman menulis dan melontarkan pertanyaan yang paling mendasar, " layakkah pekerja infotainment itu disebut wartawan? " Apakah karena mereka telah melakukan kerja-kerja jurnalistik, wawancara, pengungkapan fakta, atau proses peliputan, sehingga mereka juga pantas menyandang profesi wartawan? Ataukah mereka justru melanggar kode etik profesi wartawan?
Jika Luna Maya meluapkan emosinya dengan mengatakan "infotainment derajatnya lebih hina dari pelacur", maka kita cukup mengganti channel TV yang menayangkan infotainment dengan berita tentang dana talangan Bank Century yang bernilai Rp 6,7 triliun itu. Kalaupun tidak, cukup matikan TV anda!
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori
Infotainment
/
Opini
dengan judul
ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN
. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL
http://sisatruk.blogspot.com/2009/12/antara-harapan-dan-kenyataan.html
.
Artikel Terkait Infotainment , Opini
Ditulis oleh:
Pramudya Ksatria Budiman
-
Rating : 4.5
Belum ada komentar untuk " ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN "
Post a Comment
Beri komentar anda.