Seringkali ketika akan salat jamaah di masjid, jika ada saf yang kosong di depan, orang saling mempersilakan untuk mengisinya. Apalagi jika ada orang yang dipandang lebih layak, misalnya karena sudah tua, atau dikenal lebih tinggi ilmunya, atau tinggi kedudukannya, maka dia yang dipersilakan ke depan, seolah-olah dialah yang lebih layak di saf lebih depan, atau paling depan.
Padahal, seharusnya dalam keadaan seperti itu, kitalah yang harus bersegera mengisinya, bukannya mempersilakan orang lain, siapapun dia. Mengapa? Karena pahala saf di depan lebih tinggi dari pahala saf di belakangnya.
Sebaliknya, ketika ada acara makan bersama di meja prasmanan, terjadi hal yang sebaliknya, orang seringkali berusaha lebih duluan dari yang lain, entah karena sudah lapar atau takut kehabisan. Malah sangat sering terjadi, ketika orang harus antre, ada saja orang yang nyelonong memotong antrean.
Padahal, beda dengan salat jamaah, etiket makan berjamaah tidak begitu. Kita harus berprinsip mendahulukan orang lain. Makanya, ketika kita sudah dipersilakan makan, tata kramanya adalah mempersilakan orang lebih dahulu. Memang ada orang lain yang pantas kita hormati untuk lebih dahulu mengambil makanan dari kita.
Jadinya, dalam praktik kehidupan kita sehari-hari etiket dua urusan ini memang seringkali terbalik. Dalam saf salat kita mempersilakan orang lain ke depan padahal seharusnya tidak. Dalam acara makan bersama, kita selalu mengutamakan diri kita ke depan, padahal seharusnya tidak. Jadinya ya terbalik.
Contoh kecil tadi menunjukkan betapa memang kita banyak sekali terbalik-balik dalam hal nilai-nilai. Padahal, kalau nilai-nilai sudah terbalik akhlak bersama sudah jadi rusak.
Sekarang sudah amat sering kita saksikan bagaimana seorang anak muda merasa gagah berbicara tentang kebenaran, sambil mengacung-acungkan telunjuk, dengan nada suara tinggi, menghardik orang-orang yang lebih tua darinya, seolah-olah dialah yang paling pandai, paling benar, dan paling pejuang kebenaran. He he menggelikan, sebab dia tidak menyadari dia sudah menyuarakan kebenaran dengan cara yang tidak benar.
Terbalik-baliknya nilai memang mengakibatkan terbalik-baliknya prilaku. Apalagi keterbalikan nilai itu terjadi secara massif dalam masyarakat, gawat sekali.
Bayangkanlah bagaimana jadinya jika semua yang benar dan pantas sudah dianggap salah dan tidak pantas, lalu sebaliknya semua yang salah dan tidak pantas justru dianggap benar dan pantas. Masyarakat pasti jadi kacau.
Ada seseorang pernah punya ide "gila" berkata, bagaimana kalau korupsi tidak usah dianggap kejahatan. Tidak usah ada pasal hukum yang melarang korupsi dan menganggapnya perbuatan pidana. Biarkan saja siapapun korupsi dan mari kita bangun ekonomi kita di atas asumsi korupsi. Kita tidak bisa pikirkan bagaimana jadinya. Betapa kacaunya. Padahal itu baru satu nilai yang dibalik, bagaimana kalau banyak. Masyarakat hewan pun tidak mungkin begitu.
Padahal, seharusnya dalam keadaan seperti itu, kitalah yang harus bersegera mengisinya, bukannya mempersilakan orang lain, siapapun dia. Mengapa? Karena pahala saf di depan lebih tinggi dari pahala saf di belakangnya.
Sebaliknya, ketika ada acara makan bersama di meja prasmanan, terjadi hal yang sebaliknya, orang seringkali berusaha lebih duluan dari yang lain, entah karena sudah lapar atau takut kehabisan. Malah sangat sering terjadi, ketika orang harus antre, ada saja orang yang nyelonong memotong antrean.
Padahal, beda dengan salat jamaah, etiket makan berjamaah tidak begitu. Kita harus berprinsip mendahulukan orang lain. Makanya, ketika kita sudah dipersilakan makan, tata kramanya adalah mempersilakan orang lebih dahulu. Memang ada orang lain yang pantas kita hormati untuk lebih dahulu mengambil makanan dari kita.
Jadinya, dalam praktik kehidupan kita sehari-hari etiket dua urusan ini memang seringkali terbalik. Dalam saf salat kita mempersilakan orang lain ke depan padahal seharusnya tidak. Dalam acara makan bersama, kita selalu mengutamakan diri kita ke depan, padahal seharusnya tidak. Jadinya ya terbalik.
Contoh kecil tadi menunjukkan betapa memang kita banyak sekali terbalik-balik dalam hal nilai-nilai. Padahal, kalau nilai-nilai sudah terbalik akhlak bersama sudah jadi rusak.
Sekarang sudah amat sering kita saksikan bagaimana seorang anak muda merasa gagah berbicara tentang kebenaran, sambil mengacung-acungkan telunjuk, dengan nada suara tinggi, menghardik orang-orang yang lebih tua darinya, seolah-olah dialah yang paling pandai, paling benar, dan paling pejuang kebenaran. He he menggelikan, sebab dia tidak menyadari dia sudah menyuarakan kebenaran dengan cara yang tidak benar.
Terbalik-baliknya nilai memang mengakibatkan terbalik-baliknya prilaku. Apalagi keterbalikan nilai itu terjadi secara massif dalam masyarakat, gawat sekali.
Bayangkanlah bagaimana jadinya jika semua yang benar dan pantas sudah dianggap salah dan tidak pantas, lalu sebaliknya semua yang salah dan tidak pantas justru dianggap benar dan pantas. Masyarakat pasti jadi kacau.
Ada seseorang pernah punya ide "gila" berkata, bagaimana kalau korupsi tidak usah dianggap kejahatan. Tidak usah ada pasal hukum yang melarang korupsi dan menganggapnya perbuatan pidana. Biarkan saja siapapun korupsi dan mari kita bangun ekonomi kita di atas asumsi korupsi. Kita tidak bisa pikirkan bagaimana jadinya. Betapa kacaunya. Padahal itu baru satu nilai yang dibalik, bagaimana kalau banyak. Masyarakat hewan pun tidak mungkin begitu.
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori
Renungan
dengan judul
Ketika Sebuah Etiket Dibalik
. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL
http://sisatruk.blogspot.com/2010/12/ketika-sebuah-etiket-dibalik.html
.
Artikel Terkait Renungan
Ditulis oleh:
Pramudya Ksatria Budiman
-
Rating : 4.5
Belum ada komentar untuk " Ketika Sebuah Etiket Dibalik "
Post a Comment
Beri komentar anda.