Salah satu kepandaian orang-orang etnis bugis yang banyak tersebar di hampir seluruh kepulauan nusantara kita adalah mampu dan piawai dalam mengartikulasikan, merumuskan kalimat atau kata-kata sehingga bermakna filosofis bagi kehidupan baik sebagai pribadi maupun komunitas sosial.
Satu diantara sekian banyak formulasi yang bernilai filosofis, sangat strategi, taktis, dan antisifatif adalah Tellu Cappa.
Sudak sejak dulu orang Bugis-Makassar selalu menggunakan Tellu Cappa dalam menyelesaikan suatu perkara atau masalah. Ketika menghadapi sebuah masalah, orang Bugis-Makassar mengedepankan Ujung Lidah, menyelesaikan dengan jalan Diplomasi atau pembicaraan terlebih dahulu. Bila gagal dengan ujung lidah, maka bisa dilakukan dengan mengadakan perkawinan antara kedua pihak yang bertikai, diharapkan dengan adanya perkawinan ini bisa menjalin kekerabatan yang lebih kuat. Tetapi bila kedua cara di atas gagal maka cara terakhir adalah dengan peperangan untuk mempertahankan Harga Diri dan menunjukkan Keberanian.
Falsafah Tellu Cappa , bukan hanya efektif dalam penyelesaian Perkara atau masalah saja , tapi dalam pembauran atau sosialisasi dengan masyarakat juga demikian…
Peneliti La Galigo, Prof Dr Nurhayati juga berpendapat bahwa keluwesan orang Bugis-Makassar membuatnya mudah beradaptasi dan dengan cepat membaur dengan masyarakat setempat . orang Bugis-Makassar di mana-mana lebih menonjolkan sisi keberanian yang membuatnya terkenal dan sangat mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru.
Dikisahkan, tiga pangeran Kerajaan Gowa, Daeng Mangalle, Daeng Ruru dan Daeng Tulolo diutus oleh Kerajaan Gowa untuk belajar ke Kerajaan Siam, Thailand. Tapi Sayang sekali, keberadaan mereka di Siam tidak tepat. Karena saat itu perang tengah berkecamuk antara tentara Prancis dengan prajurit Siam. Sejarah mencatat, salah satu pangeran dari kerajaan Gowa, yaitu Daeng Mangalle ikut angkat senjata dalam perang itu.
Namun dalam perang ini, Daeng Mangalle gugur. Mengenai gugurnya Daeng Mangalle dan prajurit Bugis-Makassar, seorang pendeta Prancis membuat catatan yang menurutnya hampir-hampir tidak masuk di akal. Pendeta itu menulis, seumur hidupnya, dia baru pertama kali menyaksikan keberanian manusia yang dikenal sebagai prajurit Bugis-Makassar. Saat itu, seorang prajurit Bugis-Makassar yang telah membunuh tujuh tentara Prancis, akhirnya berhasil dilumpuhkan dengan tembakan dan tikaman bayonet bertubi-tubi.
Dalam keadaan sekarat, seorang tentara Prancis menendang-nendang kepala prajurit Bugis-Makassar itu. Tiba-tiba saja prajurit Bugis-Makassar ini bangkit lalu membunuh tentara yang menendang-nendang kepalanya itu, kemudian dia pun mengembuskan nafasnya yang terakhir.
Pendeta ini mengatakan, tak ada alasan lain yang membuat prajurit itu mendapatkan kembali kekuatannya, selain karena mempertahankan harga diri dan keberanian.
Nasib yang lebih mujur dialami dua saudara Daeng Mangalle, yaitu Daeng Ruru dan Daeng Tulolo. Mereka berhasil meloloskan diri dari perang dan menuju Kerajaan Prancis, pada masa kekuasaan Louis XIV dan Louis XV. Malah, keduanya mendapat kehormatan dari Raja Louis XIV, kedua pangeran dari Kerajaan Gowa itu dijadikan sebagai anak angkat.
Telah terbukti ketiga “ujung” tersebut merupakan bekal yang baik, apabila digunakan demi tujuan baik, dengan cara yang juga baik….
Budayawan bugis, Alwi Hamu kemudian menambahkan cappa’ keempat, yaitu cappa’ polopeng,” (ujung pena). Mengacu pada kemampuan menggunakan media informasi untuk mengembangkan diri. Dapat juga diartikan sebagai perwakilan dari ilmu pengetahuan.
Jadi, mari menggunakan empat ujung yang kita miliki, dengan cara yang bijaksana….
Pada saatnyalah, falsafah yang telah diwariskan orang-orang Bugis ini bisa dijadikan salah satu sumbangan bagi kekayaan kita dalam upaya bersama membangun karakter bangsa yang harus ditumbuhkan secara simultan dan menanganinya pula secara integral sejak masa usia kanak-kanak. Medianya adalah pendidikan yang berkualitas sebagai wujud karakter manusia Indonesia yang semakin langka tetapi wajib dibangun. Semoga....
Satu diantara sekian banyak formulasi yang bernilai filosofis, sangat strategi, taktis, dan antisifatif adalah Tellu Cappa.
“Dalam paseng to riolo (pesan tetua jaman dahulu) dikatakan :
Engka tellu cappa’ bokonna to laoe, iyana ritu :Cappa’ lilae, Cappa’ orowanewe, Cappa’ kawalie. (Terdapat tiga ujung yang menjadi bekal bagi orang yang bepergian, yaitu :Ujung lidah,Ujung kelelakian (kemaluan).Ujung badi’/kawali (senjata).
Sudak sejak dulu orang Bugis-Makassar selalu menggunakan Tellu Cappa dalam menyelesaikan suatu perkara atau masalah. Ketika menghadapi sebuah masalah, orang Bugis-Makassar mengedepankan Ujung Lidah, menyelesaikan dengan jalan Diplomasi atau pembicaraan terlebih dahulu. Bila gagal dengan ujung lidah, maka bisa dilakukan dengan mengadakan perkawinan antara kedua pihak yang bertikai, diharapkan dengan adanya perkawinan ini bisa menjalin kekerabatan yang lebih kuat. Tetapi bila kedua cara di atas gagal maka cara terakhir adalah dengan peperangan untuk mempertahankan Harga Diri dan menunjukkan Keberanian.
Falsafah Tellu Cappa , bukan hanya efektif dalam penyelesaian Perkara atau masalah saja , tapi dalam pembauran atau sosialisasi dengan masyarakat juga demikian…
- Ujung lidah: diartikan sebagai kecerdasan yang mencakup semua hal, baik kecerdasan emosional sampai kecerdasan spiritual, sehingga dapat membedakan baik-buruk.
- Ujung Kemaluan: bisa di artikan bahwa dalam mencari jodoh, hendaklah mencari jodoh dari kalangan bangsawan, atau orang yang berpengaruh.
- Ujung Badik bermakna bahwa dalam pergaulan hendaklah menjaga harkat dan martabat sebagai orang Bugis-Makassar yang menjunjung tinggi adat ‘Siri na Pacce’ . dan bila menghadapi permusuhan, maka disinilah fungsi Ujung yang terakhir, Harga Diri menjadi taruhan, keberanian pantang mundur ditunjukkan untuk dipertaruhkan, dengan catatan bahwa kita dalam posisi yang benar. Dalam adat Bugis-Makassar Harga diri adalah harga mati yang harus dibayar meskipun dengan nyawa.
Peneliti La Galigo, Prof Dr Nurhayati juga berpendapat bahwa keluwesan orang Bugis-Makassar membuatnya mudah beradaptasi dan dengan cepat membaur dengan masyarakat setempat . orang Bugis-Makassar di mana-mana lebih menonjolkan sisi keberanian yang membuatnya terkenal dan sangat mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru.
Dikisahkan, tiga pangeran Kerajaan Gowa, Daeng Mangalle, Daeng Ruru dan Daeng Tulolo diutus oleh Kerajaan Gowa untuk belajar ke Kerajaan Siam, Thailand. Tapi Sayang sekali, keberadaan mereka di Siam tidak tepat. Karena saat itu perang tengah berkecamuk antara tentara Prancis dengan prajurit Siam. Sejarah mencatat, salah satu pangeran dari kerajaan Gowa, yaitu Daeng Mangalle ikut angkat senjata dalam perang itu.
Namun dalam perang ini, Daeng Mangalle gugur. Mengenai gugurnya Daeng Mangalle dan prajurit Bugis-Makassar, seorang pendeta Prancis membuat catatan yang menurutnya hampir-hampir tidak masuk di akal. Pendeta itu menulis, seumur hidupnya, dia baru pertama kali menyaksikan keberanian manusia yang dikenal sebagai prajurit Bugis-Makassar. Saat itu, seorang prajurit Bugis-Makassar yang telah membunuh tujuh tentara Prancis, akhirnya berhasil dilumpuhkan dengan tembakan dan tikaman bayonet bertubi-tubi.
Dalam keadaan sekarat, seorang tentara Prancis menendang-nendang kepala prajurit Bugis-Makassar itu. Tiba-tiba saja prajurit Bugis-Makassar ini bangkit lalu membunuh tentara yang menendang-nendang kepalanya itu, kemudian dia pun mengembuskan nafasnya yang terakhir.
Pendeta ini mengatakan, tak ada alasan lain yang membuat prajurit itu mendapatkan kembali kekuatannya, selain karena mempertahankan harga diri dan keberanian.
Nasib yang lebih mujur dialami dua saudara Daeng Mangalle, yaitu Daeng Ruru dan Daeng Tulolo. Mereka berhasil meloloskan diri dari perang dan menuju Kerajaan Prancis, pada masa kekuasaan Louis XIV dan Louis XV. Malah, keduanya mendapat kehormatan dari Raja Louis XIV, kedua pangeran dari Kerajaan Gowa itu dijadikan sebagai anak angkat.
Telah terbukti ketiga “ujung” tersebut merupakan bekal yang baik, apabila digunakan demi tujuan baik, dengan cara yang juga baik….
Budayawan bugis, Alwi Hamu kemudian menambahkan cappa’ keempat, yaitu cappa’ polopeng,” (ujung pena). Mengacu pada kemampuan menggunakan media informasi untuk mengembangkan diri. Dapat juga diartikan sebagai perwakilan dari ilmu pengetahuan.
Jadi, mari menggunakan empat ujung yang kita miliki, dengan cara yang bijaksana….
Pada saatnyalah, falsafah yang telah diwariskan orang-orang Bugis ini bisa dijadikan salah satu sumbangan bagi kekayaan kita dalam upaya bersama membangun karakter bangsa yang harus ditumbuhkan secara simultan dan menanganinya pula secara integral sejak masa usia kanak-kanak. Medianya adalah pendidikan yang berkualitas sebagai wujud karakter manusia Indonesia yang semakin langka tetapi wajib dibangun. Semoga....
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori
Filosofi
/
Opini
/
Sejarah
/
Tellu Cappa
dengan judul
Prinsip Tellu Cappa dalam Tradisi dan Budaya Bugis-Makassar
. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL
http://sisatruk.blogspot.com/2012/02/prinsip-tellu-cappa-dalam-tradisi-dan.html
.
Artikel Terkait Filosofi , Opini , Sejarah , Tellu Cappa
Ditulis oleh:
Pramudya Ksatria Budiman
-
Rating : 4.5
Belum ada komentar untuk " Prinsip Tellu Cappa dalam Tradisi dan Budaya Bugis-Makassar "
Post a Comment
Beri komentar anda.