Bukan Pakar SEO Ganteng

Showing posts with label FTV. Show all posts
Showing posts with label FTV. Show all posts

Nominasi FTV Awards 2011

FTV Awards merupakan sebuah ajang penghargaan bagi karya film televisi dan insan pertelevisian yang berkiprah dalam karya film televisi di SCTV.

Konferensi pers tentang FTV Awards ini digelar di Senayan City, Jakarta, Kamis (7/7) sore, dihadiri Direktur Programming dan Produksi SCTV Harsiwi Ahmad, juga Kadiv Produksi SCTV John Fair. Hadir juga sejumlah artis dan anggota dewan juri seperti Djenar Maesa Ayu, Mayong Suryo Laksono, Maman Suherman dan Aksan Sjuman.

"Meskipun FTV bukan hanya SCTV yang menayangkan, tapi pionernya adalah SCTV," ucap Harsiwi. "Itulah yang menyebabkan kenapa SCTV mengadakan FTV Awards. Ini adalah yang pertama di TV dan diadakan di Indonesia," tambahnya.

SCTV merasa, FTV merupakan salah satu program yang sangat luar biasa popularitasnya, pertama dari sisi jumlah penonton, kedua dari sisi jumlah tayangannya. Jumlah jam tayang FTV jauh lebih besar dari sinetron. Menurut Harsiwi, SCTV menayangkan sekitar 1.000 judul per tahun.

Dalam ajang ini, bukan hanya artisnya saja yang akan mendapatkan penghargaan, tetapi semua pihak yang terlibat dalam pembuatan FTV. Dari nominasi yang telah disampaikan, menunjukkan bahwa FTV menghargai semua insan perfilman.

Sebanyak 18 kategori yang ada dibagi jadi dua kategori besar yakni 12 kategori terbaik dan 6 kategori terfavorit. Untuk kategori terbaik akan dipilih oleh para juri seperti
Mathias Muchus, Mayong Suryo Laksono, Upi, Roy Lolang, Djenar Maesa Ayu, Maman Suherman dan Aksan Sjuman.

Sementara kategori terfavorit dipilih dari polling pemirsa. Demikian diketahui dalam temu media di Rajas Cafe Senayan City, Kamis (7/7).

Berikut nama-nama penggiat akting yang bermain di beberapa FTV.

Nominasi Terbaik:

Pemeran Utama Wanita Terbaik:
Ira Maya Sopha (PAPI, MAMI dan TUKANG KEBUN)
Kinaryosih (WAGINA BICARA)
Kirana Larasati (PEMBANTU CANTIK ITU PACARKU)
Laura Basuki (CINTA WEDANG RONDE)
Prisia Nasution (CINTA GARA-GARA JENGKOL)

Pemeran Utama Pria Terbaik:
Alex Komang (WAGINA BICARA)
Donny Alamsyah (SEPENGGAL CINTA DI PELOSOK YOYGYA)
Oka Antara (CINTA GARA-GARA JENGKOL)
Reza Rahadian (PUTRI JURAGAN ANGKOT)
Sandy Nayoan (PAPI, MAMI DAN TUKANG KEBUN)

Pemeran Pembantu Pria Terbaik:
Dian Sidiq (PANGERAN CINTA DARI NEGERI AWAN)
Ence Bagus (PAPI, MAMI DAN TUKANG KEBUN)
Harry de Fretes (PUTRI JURAGAN ANGKOT)
Reza Rahadian (SATU CINTA PUNYA KITA)
Tabah Penemuan (WAGINA BICARA)

Pemeran Pembantu Wanita Terbaik:
Anindika W Ninggar (SEPENGGAL CINTA DI PELOSOK YOGYA)
Caroline Mendeng (PEMBANTU CANTIK ITU PACARKU)
Fikha Effendi (PAPI, MAMI DAN TUKANG KEBUN)
Lia Waode (BIDADARI PENJAGA HATI)
Niniek L Karim (WAGINA BICARA)

Sutradara Terbaik:
Dedi Setiadi (WAGINA BICARA)
Herwin Novianto (PAPI, MAMI DAN TUKANG KEBUN)
Vemmy Sagita (PEMBANTU CANTIK ITU PACARKU)
Vemmy Sagita (SEPENGGAL CINTA DI PELOSOK YOGYA)

Editor Terbaik:
Desteni (TITIPAN CINTA DARI KAHYANGAN)
Dody Chandra (CINTA GARA GARA JENGKOL)
M Hanif Ridlo (WAGINA BICARA)
Muchlis (SEPENGGAL CINTA DI PELOSOK YOGYA)
Reinardus Nugraha (PAPI, MAMI DAN TUKANG KEBUN)

Penulis Skenario Terbaik:
Arswendo Atmowiloto (WAGINA BICARA)
Fitryan G Dennis (BIDADARI PENJAGA HATI)
Jujur Prananto (PAPI, MAMI DAN TUKANG KEBUN)
Rahadian Effendi (SEPENGGAL CINTA DI PELOSOK YOGYA)
Vemmy Sagita (CINTA GARA-GARA JENGKOL)

Penata Kamera Terbaik:
Adam Ojen (SEPENGGAL CINTA DI PELOSOK YOGYA)
Adam Ojen (TITIPAN CINTA DARI KAHYANGAN)
Anggi F (PAPI, MAMI DAN TUKANG KEBUN)
Gunung Nusa Pelita (WAGINA BICARA)
Adam Ojen (PEMBANTU CANTIK ITU PACARKU)

Penata Suara Terbaik:
AA Bagus (SEPENGGAL CINTA DI PELOSOK YOGYA)
AA Bagus (TITIPAN CINTA DARI KAHYANGAN)
Buyung Tompel dan Chandra Hasan (PAPI, MAMI DAN TUKANG KEBUN)
Harry Bandung dan Chandra Hasan (WAGINA BICARA)
Jatniko Kurniawan (SATU CINTA PUNYA KITA)

Penata Musik Terbaik:
Areng Widodo (SEPENGGAL CINTA DI PELOSOK YOGYA)
Idris Sardi (WAGINA BICARA)
Nathanael P Winarto (PULANG MALU GAK PULANG RINDU)
Nathanael P Winarto (TITIPAN CINTA DARI KAHYANGAN)
Thoersi Argeswara (PAPI, MAMI DAN TUKANG KEBUN)

Penata Artistik Terbaik:
Cecep Aruman (PULANG MALU GAK PULANG RINDU)
Cecep Aruman (TITIPAN CINTA DARI KAHYANGAN)
Fally Sapta (CINTA GARA GARA JENGKOL)
T Timothy (PAPI, MAMI DAN TUKANG KEBUN)
Wawan Darwan (WAGINA BICARA)

FTV Terbaik:
CINTA GARA-GARA JENGKOL
PAPI, MAMI DAN TUKANG KEBUN
PUTRI JURAGAN ANGKOT
SEPENGGAL CINTA DI PELOSOK YOGYA
WAGINA BICARA


Selain nominasi terbaik, FTV Awards 2011 juga menghadirkan beberapa nominasi terfavorit pilihan pemirsa. Berikut nominasi terfavorit tersebut.

Kategori Pemeran Pria Terfavorit:
Ben Joshua (Titipan Cinta dari Kahyangan)
Reza Rahadian (Satu Cinta Punya Kita)
Rio Dewanto (Pembantu Cantik Itu Pacarku)
Surya Saputra (Pangeran Cinta dari Negeri Awan)
Vino Bastian (Lost in Solo)

Kategori Pemeran Wanita Terfavorit:
Atiqah Hasiholan (Sepenggal Cinta di Pelosok Yogya)
Bunga Zainal (Membawa Cinta dari Merapi)
Kinaryosih (Wagina Bicara)Prisia Nasution (Cinta Gara Gara Jengkol)
Tyas Mirasih (1 Cinta Beda Rasa)

Kategori Pemeran Pembantu Pria Terfavorit:
Dian Sidiq (Lost in Solo)
Dimas Anggara (Pembantu Cantik Itu Pacarku)
Haikal Kamil (Papi, Mami dan Tukang Kebun)
Nicky Tirta (Six Million Dollar Man)
Panji Angga Saputra (Cinta Gara Gara Jengkol)

Kategori Pemeran Pembantu Wanita Terfavorit:

Dea Lestari (Wanted Pacar Kaya dan Ganteng)
Dinda Kirana (1 Cinta Beda Rasa)
Lia Waode (Bidadari Penjaga Hati)
Naniek L Karim (Wagina Bicara)
Caroline Mendeng (Pembantu Cantik Itu Pacarku)

Theme Song Terfavorit:
Empat Mata (D Bagindaz, Cinta Gara Gara Jengkol)
Manusia Biasa(Yovie and The Nuno, Wanted Pacar Kaya dan Ganteng)
Setiaku (ST 12, Pengeran Cinta dari Negeri Awan)
Tercipta Untukmu (Ungu, Membawa Cinta dari Merapi)
Uang atau Cinta (Cinta Laura, Satu Cinta Punya Kita)

Theme Song Terfavorit:

Cinta Gara Gara Jengkol
Cinta Wedang Ronde
Satu Cinta Punya Kita
Titipan Cinta dari Kahyangan
Wanted Pacar Kaya dan Ganteng


Sumber : Kapanlagi.com


Photobucket

BADIK TITIPAN AYAH | Budaya Siri Dalam Bidikan Kamera


Sabtu malam 2 Oktober lalu, tepatnya pukul 23.00 Wita, layar televisi kita diwarnai sebuah narasi kehidupan berupa sajian fragmen budaya timur suku Makassar lewat film televisi (FTV) berjudul "Badik Titipan Ayah".

Eja tompi na doang… Bukan udang namanya kalau tak merah. Itulah potongan ungkapan suku Makassar yang dirasa tepat untuk mewakili apa yang dituang oleh Dedi Setiadi ke dalam layar kaca, tontonan yang menguak sebagian jati diri suku Makassar.

Sampai saat ini beberapa orang teman dalam akun facebook-nya menulis update status tentang FTV Badik Titipan Ayah, umumnya didominasi kritikan pada penggunaan dialek Makassar para pelakon yang dinilai kurang pas.

Memaksa orang selain suku Makassar (apalagi suku yang hidup jauh di luar tanah Sulawesi), untuk memahami budaya siri sama susahnya bagi suku Makassar untuk dipaksa mengenal kebudayaan suku lain, terutama bagi penduduk Makassar yang hanya menetap terus di tanah kelahirannya.

Budaya mengambil ruang tersendiri dari peradaban, mendadar pemikiran dengan aksi konkret, menampakkan diri melalui ritual, dan yang patut dipuji adalah, budaya menjadi penopang kekokohan norma-norma agama.

Salah satu contohnya, sikap menghargai orang lain sudah lama dianjurkan secara teologis, namun memandang bahwa saran itu juga lahir dari sebuah gagasan kulturis, tentu bisa jadi sangat benar. Tapi (tergantung Anda memandanginya dalam kacamata apa), ada budaya yang memang perlu dikoreksi dalam tahun-tahun yang berkembang.

Dahulu baju bodo (pakaian adat Sulsel) desainnya sangat tipis sehingga "dalaman" pemakainya tampak jelas. Belakangan desain itu telah berubah terutama bagi pemakai muslimah. Inilah sebuah inovasi dari upaya mempertahankan budaya yang dilakukan kalangan kreatif. Namun, dengan budaya siri, adakah sebuah pengarahan paradigma yang pas?

Dalam kacamata orang luar, kita (saya dan Anda) yang dipandang sebagai orang Makassar, masih sangat sering diidentikkan dengan perangai kasar. Dimulai dari pemberitaan media massa tentang kekerasan di Makassar yang begitu barbar, ditambah lagi dengan kiriman-kiriman pandangan, lengkap sudah sosialisasi kita terganggu.

Namun, kita tidak harus marah. Seperti kata Inayath Khan, kita perlu menguasai diri sebagai kunci dari segala kemajuan dan kebahagiaan. Kita tidak perlu membalas penilaian mereka dengan menguakkan segala kejelekan sukunya juga. Tak perlu, karena kita tidak akan menjadi mulia dengan tindakan itu, betapapun kita bermaksud ingin meluruskan pandangan mereka.

Persoalan siri, dalam jagad modern seperti sekarang di mana kepala kita dijejali bacaan-bacaan dan tontonan akan kehidupan di tempat lain, sudah selayaknya kita dapat menempatkan makna siri dalam perkara yang sesuai.

Apalagi, koridor hukum telah jelas, tentu kita tahu risiko yang akan didapat jika membunuh orang lain tanpa alasan jelas. Dengan pemahaman yang dalam tentang pengetahuan di bidang hukum, tentu kita tahu bahwa membawa kabur gadis, menghamilinya, membunuh sendiri pelaku, merupakan tindakan yang akan diendus polisi sebagai penegak hukum.

Mengangkat sebuah kehidupan beserta tetek bengek-nya (termasuk budaya, pemahaman, setting tempat) ke dalam layar tontonan membutuhkan kepiawaian dan kerja keras kepalang tanggung. Film, adalah media transformasi pengetahuan yang paling "afdal" di luar bacaan.

Dengan film dan bacaan, kita dapat merengkuh hal-hal yang tak bisa kita gapai. Dan seperti kebanyakan pembuat film yang lain, drama televisi garapan sutradara Dedi Setiadi ini dibuat ingin menyamai fakta yang ada. Penggunaan alur yang familiar dan setting tempat di kampiun budaya itu sendiri, Setiadi telah layak diacungi jempol atas kemampuannya mempertahankan orisinalitas cerita.

Hanya saja, mengingat penokohannya melibatkan kalangan intelektual (mahasiswa), saya sangat berharap agar karakter “mahasiswa” dalam cerita itu mampu menjadi pelopor agen perubahan dengan bekal ilmu pengetahuan yang dimilikinya, bukan malah ikut-ikutan menuruti emosi tetua.

Sebuah alasan sentimental membuat saya menetapkan hati menonton FTV BTA, tidak hanya karena mengangkat tema yang kental mengenai budaya Bugis-Makassar , namun juga, salah satu pemainnya, Ilham Anwar (yang berperan sebagai Daeng Limpo) adalah Putra Soppeng, tempat saya bermukim.

Ada beragam ekspektasi merajai benak saya. Terlebih dibalik orang-orang yang mengerjakan FTV ini, terdapat sosok-sosok hebat di dunia perfilman mulai dari sang produser Deddy “Nagabonar”Mizwar, sutradara Dedy Setiadi dan bintang kawakan Widyawati yang berperan sebagai istri Karaeng Tiro. Aktor senior asal Makassar, Aspar Paturusi juga ikut berperan sebagai Karaeng Tiro dalam film ini. Beberapa bintang muda ikut meramaikan film BTA seperti Reza Rahadian, Tika Bravani dan Guntara Hidayat.

FTV BTA menceritakan kisah keluarga Karaeng Tiro (diperankan oleh Aspar Paturusi) dan istrinya Karaeng Caya (Widyawati) dilanda prahara keluarga yang sangat memalukan (siri’). Anak gadis tunggal mereka mereka Andi Tenri (Tika Bravia) kawin lari tanpa restu orang tua (silariang) dengan kekasihnya Firman (Guntara Hidayat).

Karaeng Tiro lalu meminta anak lelaki tunggalnya Andi Aso (Reza Rahadian) untuk menyelesaikan persoalan tersebut melalui “jalan adat” Bugis-Makassar: jalan yang menggunakan badik.

Bagi orang Bugis-Makassar, persoalan siri’ adalah persoalan adat, dan harus diselesaikan secara adat pula, dengan memberikan titipan badik (senjata tajam ala Makassar) kepada putra sulungnya itu. Tugas Andi Aso tersebut didampingi oleh anak angkat Karaeng Tiro bernama Daeng Limpo (Ilham Anwar).

Konflik kisah ini dibangun dengan baik, terlebih ketika Andi Tenri diketahui hamil dan mengungkapkan kegalauan hatinya pada Firman. Dilain pihak, kegeraman Karaeng Tiro atas apa yang terjadi pada putrinya tercinta tersampaikan dengan bagus melalui akting ciamik Aspar Paturusi, salah satu aktor Makassar idola saya dulu.

Perasaan dilema yang melanda Andi Aso antara rasa sayang kepada adik perempuannya dan upaya melaksanakan amanah tersirat sang ayahanda untuk “menuntaskan” persoalan malu dan harga diri secara adat, terlihat begitu lancar dituturkan lewat akting Reza Rahadian yang pernah membintangi film “Alangkah Lucunya (negeri ini)” dan “Emak Ingin Naik Haji” ini.

Permainan akting sahabat SMA saya, Ilo’ (nama panggilan Ilham Anwar) sebagai Daeng Limpo, anak angkat Karaeng Tiro sungguh menonjol. Karakter keras, konsisten dan temperamentalnya ketika mendampingi Andi Aso mencari Andi Tenri lancar diperankan aktor yang pernah membintangi sejumlah film dan sinetron ini.



Akhir kisah ini sungguh dramatis dan mencapai klimaksnya ketika Andi Tenri dan sang suami (sambil membawa bayi mereka yang baru lahir) nekad datang ke Bira, kampung halamannya. Andi Aso dan Daeng Limpo menyambut kedatangan mereka dengan amarah membara. Badikpun dihunus oleh Andi Aso, bersiap melakukan “perhitungan” dengan Firman yang juga sudah menghunus badiknya.

“Ingat, badik yang sudah dikeluarkan dari sarungnya, pantang dimasukkan kembali sebelum melaksanakan tugasnya!,” tegas Daeng Limpo dengan mata menyala. Keadaan menjadi sangat tegang. Tanpa rasa takut sekalipun, Andi Tenri maju menghadapi Badik yang terhunus ditangan sang kakak, siap menghadapi kondisi terburuk sebagai wujud tanggungjawab dan resiko atas perbuatannya.

Ditengah situasi tersebut, Karaeng Caya yang dimainkan oleh Widyawati tampil menyelesaikan persoalan pelik itu secara elegan. Terlepas dari segala kontraversi yang terjadi, kearifan menyikapi masalah dengan tetap menegakkan kehormatan dan harga diri melalui berdamai atas segala ketidaksempurnaan merupakan jalan penyelesaian terbaik atas konflik yang terjadi secara humanis, dan dengan pendekatan cinta. Transformasi Siri’ pada kasus Silariang dalam BTA mencerminkan upaya menghadirkan harmoni berdasarkan azas kehormatan, harga diri dan kasih sayang bagi sesama.


Apapun pendapat teman-teman saya di situs pertemanan, saya tetap berpendapat bahwa film ini memang layak untuk ditonton, kendati hanya sebagian fragmen budaya Makassar yang dilibatkan, tapi setidaknya memberi pencerahan bagi suku selain Makassar, bahwa beginilah kita hidup dengan adat kita, dan bukan tak mungkin itu berubah suatu saat tergantung seperti apa kondisi kehidupan ke depan.

Dialog yang dibuat "sangat Makassar" oleh para pemain (Aspar Paturusi, Widyawati, Reza Rahadian, Tika Bravani, Ilham Anwar dan sederet pemain lainnya) telah mengukuhkan posisi Deddy Mizwar (produser) sebagai kalangan yang nasionalisme dengan tetap menancapkan kearifan lokal melalui bidikan-bidikan sederhana (tapi bermakna kuat).

Bohong besarlah kalau dikatakan mereka tak melakonkan dialek Makassar dengan tepat. Tapi kalaupun mereka tidak berhasil menjadi orang Makassar dalam hal linguistik, marilah kita mafhum, sama halnya sikap mafhum orang Amerika terhadap warga Indonesia yang dialek bahasa Inggrisnya menyedihkan.

Akhirnya, secara keseluruhan, film televisi ini adalah metafora kehidupan berbudaya, gaung yang bergema keras tentang pergulatan emosi-hasrat-hegemoni personal-yang dipaparkan dengan indah dalam durasi dua jam, dan melibatkan panorama alam dan lingkungan perkotaan yang konon jarang diekspos media.

Namun, secara faktual, pesan memaknai budaya siri-lah yang paling penting, bagaimana kita bersikap jika menjadi salah satu karakter yang diperankan dalam film itu. Dan tak kalah penting lagi, sungguh kita menjadi beradab bila mampu mengelompokkan budaya-budaya kita yang selama ini menjadi sorotan pihak luar.


Photobucket




Source :
http://metronews.fajar.co.id
http://bloggerbekasi.com/