Bukan Pakar SEO Ganteng

Showing posts with label Hari Guru Nasional. Show all posts
Showing posts with label Hari Guru Nasional. Show all posts

Hari Guru Nasional Ke-66 | Sejarah Lahirnya PGRI


Tidak banyak diantara kita yang tahu bahwa hari ini 25 November 2011 adalah hari guru yang ke-66. Tentu ada sebuah harapan besar di hari ulang tahun guru ini. Harapan besar itu adalah bersatunya para pendidik dalam satu wadah organisasi yang bernama Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Suka atau tidak suka PGRI adalah salah satu organisasi pendidik terbesar yang diakui pemerintah, dan hari kelahiran PGRI kita peringati sebagai hari guru.

PB PGRI mengusung tema Hari Guru Nasional dan HUT PGRI ke 66 Tahun 2011 ”Meningkatkan Peran Strategis Guru untuk Membangun Karakter Bangsa”. Tema tersebut momentum yang tepat, disaat gunjang-ganjingnya permasalahan bangsa, guru menjadi tambatan hati untuk menjadi public figure dalam membentuk kepribadian dan karakter bangsa. Peran guru dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia sungguh besar dan sangat menentukan.

Berikut ini adalah kilas balik Sejarah kelahiran PGRI

PGRI lahir pada 25 November 1945, setelah 100 hari proklamasi kemerdekaan Indonesia. Cikal bakal organisasi PGRI adalah diawali dengan nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) tahun 1912, kemudian berubah nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI) tahun 1932.

Semangat kebangsaan Indonesia telah lama tumbuh di kalangan guru-guru bangsa Indonesia. Organisasi perjuangan guru-guru pribumi pada zaman Belanda berdiri tahun 1912 dengan nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB).Organisasi ini bersifat unitaristik yang anggotanya terdiri dari para Guru Bantu, Guru Desa, Kepala Sekolah, dan Penilik Sekolah. Dengan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda mereka umumnya bertugas di Sekolah Desa dan Sekolah Rakyat Angka Dua.

Sejalan dengan keadaan itu maka disamping PGHB berkembang pula organisasi guru bercorak keagamaan, kebangsaan, dan yang lainnya.

Kesadaran kebangsaan dan semangat perjuangan yang sejak lama tumbuh mendorong para guru pribumi memperjuangkan persamaan hak dan posisi dengan pihak Belanda. Hasilnya antara lain adalah Kepala HIS yang dulu selalu dijabat orang Belanda, satu per satu pindah ke tangan orang Indonesia. Semangat perjuangan ini makin berkobar dan memuncak pada kesadaran dan cita-cita kesadaran.

Perjuangan guru tidak lagi perjuangan perbaikan nasib, tidak lagi perjuangan kesamaan hak dan posisi dengan Belanda, tetapi telah memuncak menjadi perjuangan nasional dengan teriak “merdeka.”

Pada tahun 1932 nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) diubah menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI). Perubahan ini mengejutkan pemerintah Belanda, karena kata “Indonesia” yang mencerminkan semangat kebangsaan sangat tidak disenangi oleh Belanda. Sebaliknya, kata “Indonesia” ini sangat didambakan oleh guru dan bangsa Indonesia. Pada zaman pendudukan Jepang segala organisasi dilarang, sekolah ditutup, Persatuan Guru Indonesia (PGI) tidak dapat lagi melakukan aktivitas.

Semangat proklamasi 17 Agustus 1945 menjiwai penyelenggaraan Kongres Guru Indonesia pada tanggal 24 – 25 November 1945 di Surakarta. Melalaui kongres ini, segala organisasi dan kelompok guru yang didasarkan atas perbedaan tamatan, lingkungan pekerjaan, lingkungan daerah, politik, agama, dan suku, sepakat dihapuskan. Mereka adalah guru-guru yang aktif mengajar, pensiunan yang aktif berjuang, dan pegawai pendidikan Republik Indonesia yang baru dibentuk. Mereka bersatu untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Di dalam kongres inilah, pada tanggal 25 November 1945 seratus hari setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) didirikan.

Dengan semangat pekik “merdeka” yang bertalu-talu, di tengah bau mesiu pemboman oleh tentara Inggris atas studio RRI Surakarta, mereka serentak bersatu untuk mengisi kemerdekaan dengan tiga tujuan :

  1. Memepertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia;
  2. Mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan;
  3. Membela hak dan nasib buruh umumnya, guru pada khususnya. Sejak Kongres Guru Indonesia itulah, semua guru Indonesia menyatakan dirinya bersatu di dalam wadah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).

Jiwa pengabdian, tekad perjuangan dan semangat persatuan dan kesatuan PGRI yang dimiliki secara historis terus dipupuk dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaan negara kesatuan republik Indonesia. Dalam rona dan dinamika politik yang sangat dinamis, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) tetap setia dalam pengabdiannya sebagai organisasi perjuangan, organisasi profesi, dan organisasi ketenagakerjaan, yang bersifat unitaristik, independen, dan tidak berpolitik praktis.

Untuk itulah, sebagai penghormatan kepada guru, pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994, menetapkan hari lahir PGRI tanggal 25 November sebagai Hari Guru Nasional, dan diperingati setiap tahun.


Disaat banyak media mengeksploitasi kebejatan moral para petinggi bangsa, di saat masyarakat mendambakan sebuah aksi perubahan yang sering dikampanyekan oleh juragan politik, bagaimana posisi seorang guru? Sungguh sayang sekali, justru disaat kebutuhan akan guru sangat mendesak untuk menambal sulam yang pensiun. Kenyataanya kebutuhan akan profesi guru harus di moratorium juga, walau banyak teriakan hausnya sebuah pendidikan bermutu banyak dilontarkan oleh corong-corong daerah. Kondisi objektif ini masih belum menunjukkan harapan yang signifikan antara keberimbangan pangsa pasar (peserta didik) dengan SDM (kuota guru) yang ada.

Hari Guru Nasional dan HUT PGRI yang ke 66, tahun ini adalah usia yang cukup matang dan dewasa bagi sebuah organisasi. Seharusnya menjadi sebuah refleksi, renungan dan evaluasi bagi semua guru untuk membuka kembali lembar catatan dari banyak peristiwa, persoalan, tantangan, dan kendala yang telah dihadapi. Seberapa besar ponten yang dapat kita berikan untuk profesionalitas diri kita? Tentu, kita sendirilah yang bisa menjawabnya. Karena menjadi guru profesional bukanlah perkara gampang, maka perlu kesadaran dari diri kita juga yang harus memulainya untuk mengangkat citra profesi yang digugu dan ditiru. Citra guru yang baik akan mengangkat kualitas pendidikan itu sendiri. Dan pendidikan yang baik akan dapat mengangkat harkat dan martabat bangsa.

Mudah-mudahan para guru selalu mampu memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negara. “Tidak ada guru, tidak ada pendidikan, tidak ada pendidikan mustahil ada proses pembangunan”. Hanya dengan sentuhan guru yang profesional, bermartabat, dan ditauladani, maka anak-anak bangsa akan menerima proses pembelajaran yang mendidik dan bermutu. Ada sebuah kalimat hikmah, “man yazra’ wa huwa yahsud”, artinya siapa yang menanam, dialah yang akan memanen. Jika kita menginginkan kebaikan bagi diri kita, maka mulailah dari diri kita untuk menebarkan kebaikan kepada orang lain. Dalam makna lain siapa yang menanam padi, dia akan memanen padi pula. Bahkan rumput pun akan tumbuh disekitar padi itu. Namun, siapa yang menanam rumput, jangan harap ada padi yang bisa tumbuh.

Oleh karena itu guru harus meningkatkan customer service bagi anak didiknya. Karena jasa-jasa guru akan terpatri dan guru akan selalu hidup dalam setiap kenangan dan langkah kehidupan anak didiknya, sebagaimana sering dilantunkan peserta didik dalam lagu Hymne Guru. Akhir dari tulisan ini, ada seuntai pesan kata bijak dari orang yang telah melanglang buana menikmati indahnya profesi guru. Prof. Dr. A. Malik Fadjar dalam tulisannya “Guru itu adalah cermin pendidikan, dan pendidikan itu akan tercermin dari para guru”. Semoga menjadi spirit buat para guru Indonesia dan direfleksikan dalam sisa perjalanan usia kita. Selamat Hari Guru Nasional dan Sukses untuk kita semua.

Semoga PGRI, guru, dan bangsa Indonesia tetap jaya dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Source : http://www.pontianakpost.com


Denaihati
Pramudya Ksatria Budiman Hari Guru Nasional , Info , Sejarah PGRI

Hari Guru Nasional | Pembangun Insan Cendekia



Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa


Itulah penggalan lagu yang isinya melukiskan keteladanan para guru. Lagu yang selalu dinyanyikan untuk mengenang jasa-jasa dan pengabdian para guru yang diperingati setiap 25 Nopember tepat pada hari ini sebagai Hari Guru Nasional.

Hari Guru Nasional- Betapa besar apresiasi Google Indonesia terhadap pengabdian Guru, Hari ini 25 November 2010 adalah Hari Guru Nasional ke-65. Google Indonesia menampilkan logo khusus untuk itu . (namun kalau kita lebih teliti melihat Logo yang ditampilkan Oleh Google diatas, kalau kita mouse over ke doodlenya Mbah Guge Tulisannya koq Memperingati Hari Guru Nasional 2011??)

Guru sebagai sebuah profesi yang menuntut kesabaran dan keuletan yang luar biasa dalam upaya mencerdaskan anak bangsa agar dapat meraih prestasi yang gemilang di masa depan.

Pada saat seperti sekarang ini, guru dengan lika-liku kehidupannya, masih berada di posisi belakang dibandingkan dengan profesi yang lain. Padahal guru merupakan agen paling depan di dunia pendidikan yang tugasnya sangat berat.

Sebutan ‘Pahlawan Tanpa Tanda Jasa', mungkin sekarang hanya menjadi sebuah kalimat yang tak ada nilainya. Betapa tidak? Para pahlawan ini memang tak pernah diingat oleh siapapun dan kapanpun. Meski sejatinya ia bermakna dalam kehidupan manusia. Kalimat yang mengandung arti luas dan sangat mengena ketika mengenang kembali kilas balik kehidupan kita di masa kecil saat pertama kali mengecap pendidikan di Sekolah Dasar.

Guru seringkali menjadi korban ketidakadilan yang terjadi dalam dunia pendidikan. Predikat pahlawan tanpa tanda jasa, seolah-olah dimaknai dengan guru memang wajar jika tak mendapatkan balas jasa atas usahanya, atau minimal harus merasa cukup dengan balas jasa yang alakadarnya karena toh memang pahlawan tanpa tanda jasa. Padahal makna hakiki dari “pahlawan tanpa tanda jasa” adalah bahwa jasa guru begitu besar sehingga tidak ada satu tanda jasapun yang sebanding untuk membalas jasa yang telah diberikannya.

Mungkin tidak banyak dari kita yang tahu, bahwa pada tanggal 8 November 2007, Sartono, sebagai pencipta Hymne Guru, disaksikan oleh Dirjen PMPTK Depdiknas, Dr. Fasli Jalal Ph. D dan Ketua Pengurus Besar PGRI HM. Rusli, telah menandatangani surat resmi tentang penggantian lirik terakhir dari Hymne Guru tersebut. Kata-kata “tanpa tanda jasa” diganti menjadi “pembangun insan cendekia”. Sehingga Hymne tersebut diakhiri dengan “Engkau patriot pahlawan bangsa pembangun insan cendekia.” Sebuah langkah yang mungkin dirasa lumayan bijak untuk mengakhiri “penderitaan” guru yang tak kunjung hilang.

Dan hal itu diperkuat dengan Surat Edaran Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Nomor : 447/Um/PB/XIX/2007 tanggal 27 November 2007,

Guru adalah tonggak pembangun dari sebuah bangsa. Gurulah yang memiliki peran besar dalam menghasilkan generasi-generasi penerus bangsa yang berilmu dan berkualitas. Kita tentunya masih ingat saat Jepang dihancurkan oleh Sekutu dengan membombardir kota Hiroshima dan Nagasaki. Hal yang pertama kali ditanyakan oleh kaisar Jepang ketika itu adalah berapa dari guru-guru mereka yang selamat. Mengapa yang ditanyakan bukan anggota parlemen, bukan dokter, pengusaha, atau arsitek , mengapa harus guru dan mengapa bukan yang lain.

Dan mari kita saksikan apa yang terjadi dengan Jepang saat ini jika kita bandingkan dengan bangsa kita, “Indonesia tercinta”. Jepang melejit bagai roket, sedangkan kita bangsa Indonesia terseok-seok dilanda berbagai macam krisis, mulai dari ekonomi, politik, pendidikan hingga moral. Padahal Jepang dan Indonesia bangkit dari keterpurukan pada saat yang sama.

Jepang mulai bangkit kembali dari kehancurannya setelah tanggal 6&9 Agustus 1945, dan Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Tapi kenapa mereka lebih maju? Jawabnya karma mereka mampu berfikir bijak tentang apa yang semestinya dilakukan Mereka tahu bahwa majunya sebuah Negara sangat ditentukan oleh pendidikan.

Kunci dari pendidikan itu adalah guru, dan pemerintah Jepang sangat menyadari hal itu. Maka lihatlah mereka sekarang. Jepang menjadi ikon untuk sebuah kemajuan. Sekarang mari lihat bagaimana keberadaan guru di Indonesia.

Moga saja dengan perubahan sebutan tersebut , tidak semata-mata dimaknai sebagai perubahan nasib berkaitan kesejahteraan finansial saja tetapi juga diikuti komitmen bersama untuk berusaha meningkatkan kompetensi diri.

Peningkatan kompetensi diri juga harus selalu diikuti dengan perubahan pola pikir dan usaha untuk selalu menjadi guru yang pembelajar yang peduli pada siswa. Bukan selalu menuntut dan menuntut “tanda jasa” tetapi tidak mengimbangi diri dengan kemampuan profesional yang memadai.

laptop gratis

Kepada rekan-rekan se profesi mari membangun pendidikan dengan tulus ikhlas. Insya Allah setiap usaha yang kita lakukan akan mendapatkan “BALAS JASA” yang setimpal dari Allah SWT bukan mengharapkan “kesejahteraan” dari pemerintah saja.



PEMBANGUN INSAN CENDEKIA



“Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku

Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa.”


Itulah penggalan lagu yang isinya melukiskan keteladanan para guru. Lagu yang selalu dinyanyikan untuk mengenang jasa-jasa dan pengabdian para guru yang diperingati setiap 25 Nopember tepat pada hari ini sebagai Hari Guru Nasional.

Guru sebagai sebuah profesi yang menuntut kesabaran dan keuletan yang luar biasa dalam upaya mencerdaskan anak bangsa agar dapat meraih prestasi yang gemilang di masa depan.

Pada saat seperti sekarang ini, guru dengan lika-liku kehidupannya, masih berada di posisi belakang dibandingkan dengan profesi yang lain. Padahal guru merupakan agen paling depan di dunia pendidikan yang tugasnya sangat berat.

Sebutan ‘Pahlawan Tanpa Tanda Jasa', mungkin sekarang hanya menjadi sebuah kalimat yang tak ada nilainya. Betapa tidak? Para pahlawan ini memang tak pernah diingat oleh siapapun dan kapanpun. Meski sejatinya ia bermakna dalam kehidupan manusia. Kalimat yang mengandung arti luas dan sangat mengena ketika mengenang kembali kilas balik kehidupan kita di masa kecil saat pertama kali mengecap pendidikan di Sekolah Dasar.

Guru seringkali menjadi korban ketidakadilan yang terjadi dalam dunia pendidikan. Prediket pahlawan tanpa tanda jasa, seolah-olah dimaknai dengan guru memang wajar jika tak mendapatkan balas jasa atas usahanya, atau minimal harus merasa cukup dengan balas jasa yang alakadarnya karena toh memang pahlawan tanpa tanda jasa. Padahal makna hakiki dari “pahlawan tanpa tanda jasa” adalah bahwa jasa guru begitu besar sehingga tidak ada satu tanda jasapun yang sebanding untuk membalas jasa yang telah diberikannya.

Mungkin tidak banyak dari kita yang tahu, bahwa pada tanggal 8 November 2007, Sartono, sebagai pencipta Hymne Guru, disaksikan oleh Dirjen PMPTK Depdiknas, Dr. Fasli Jalal Ph. D dan Ketua Pengurus Besar PGRI HM. Rusli, telah menandatangani surat resmi tentang penggantian lirik terakhir dari Hymne Guru tersebut. Kata-kata “tanpa tanda jasa” diganti menjadi “pembangun insan cendekia”. Sehingga Hymne tersebut diakhiri dengan “Engkau patriot pahlawan bangsa pembangun insan cendekia.” Sebuah langkah yang mungkin dirasa lumayan bijak untuk mengakhiri “penderitaan” guru yang tak kunjung hilang.

Dan hal itu diperkuat dengan Surat Edaran Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Nomor : 447/Um/PB/XIX/2007 tanggal 27 November 2007,

Guru adalah tonggak pembangun dari sebuah bangsa. Gurulah yang memiliki peran besar dalam menghasilkan generasi-generasi penerus bangsa yang berilmu dan berkualitas. Kita tentunya masih ingat saat Jepang dihancurkan oleh Sekutu dengan membombardir kota Hiroshima dan Nagasaki. Hal yang pertama kali ditanyakan oleh kaisar Jepang ketika itu adalah berapa dari guru-guru mereka yang selamat. Mengapa yang ditanyakan bukan anggota parlemen, bukan dokter, pengusaha, atau arsitek , mengapa harus guru dan mengapa bukan yang lain.

Dan mari kita saksikan apa yang terjadi dengan Jepang saat ini jika kita bandingkan dengan bangsa kita, “Indonesia tercinta”. Jepang melejit bagai roket, sedangkan kita bangsa Indonesia terseok-seok dilanda berbagai macam krisis, mulai dari ekonomi, politik, pendidikan hingga moral. Padahal Jepang dan Indonesia bangkit dari keterpurukan pada saat yang sama.

Jepang mulai bangkit kembali dari kehancurannya setelah tanggal 6&9 Agustus 1945, dan Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Tapi kenapa mereka lebih maju? Jawabnya karma mereka mampu berfikir bijak tentang apa yang semestinya dilakukan Mereka tahu bahwa majunya sebuah Negara sangat ditentukan oleh pendidikan.

Kunci dari pendidikan itu adalah guru, dan pemerintah Jepang sangat menyadari hal itu. Maka lihatlah mereka sekarang. Jepang menjadi ikon untuk sebuah kemajuan. Sekarang mari lihat bagaimana keberadaan guru di Indonesia.

Moga saja dengan perubahan sebutan tersebut , tidak semata-mata dimaknai sebagai perubahan nasib berkaitan kesejahteraan finansial saja tetapi juga diikuti komitmen bersama untuk berusaha meningkatkan kompetensi diri.

Peningkatan kompetensi diri juga harus selalu diikuti dengan perubahan pola pikir dan usaha untuk selalu menjadi guru yang pembelajar yang peduli pada siswa. Bukan selalu menuntut dan menuntut “tanda jasa” tetapi tidak mengimbangi diri dengan kemampuan profesional yang memadai.

Kepada rekan-rekan se profesi mari membangun pendidikan dengan tulus ikhlas. Insya Allah setiap usaha yang kita lakukan akan mendapatkan “BALAS JASA” yang setimpal dari Allah SWT bukan mengharapkan “kesejahteraan” dari pemerintah saja.

Pramudya Ksatria Budiman Hari Guru Nasional , Info , Opini