Kehidupan berlangsung tanpa disadari dari detik ke detik. Terkadang kita tidak menyadari bahwa hari-hari yang telah kita lewati justru semakin mendekatkan kita kepada kematian sebagaimana juga yang berlaku bagi orang lain?
Seperti yang tercantum dalam ayat “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan.” (QS. 29:57)
Tiap orang yang pernah hidup di muka bumi ini ditakdirkan untuk mati. Tanpa kecuali, mereka semua akan mati, tiap orang. Kita tidak pernah menemukan jejak orang-orang yang telah meninggal dunia. Mereka yang saat ini masih hidup dan mereka yang akan hidup juga akan menghadapi kematian pada hari yang telah ditentukan.
Seorang bayi yang baru saja membuka matanya di dunia ini dengan seseorang yang sedang mengalami sakaratul maut. Keduanya sama sekali tidak berkuasa terhadap kelahiran dan kematian mereka. Hanya Allah yang memiliki kuasa untuk memberikan nafas bagi kehidupan atau untuk mengambilnya.
Kebanyakan orang menghindari untuk berpikir tentang kematian. Dalam kehidupan modern ini, seseorang biasanya menyibukkan dirinya dengan hal-hal yang sangat bertolak belakang dengan kematian; mereka berpikir tentang: di mana mereka akan kuliah, di perusahaan mana mereka akan bekerja, baju apa yang akan mereka gunakan besok pagi, apa yang akan dimasak untuk makan malam nanti, hal-hal ini merupakan persoalan-persoalan penting yang sering kita pikirkan.
Kehidupan diartikan sebagai sebuah proses kebiasaan yang dilakukan sehari-hari. Pembicaraan tentang kematian sering dicela oleh mereka yang merasa tidak nyaman mendengarnya. Sekalipun begitu sepantasnya kita selalu mengingat, bahwa tidak akan ada yang mampu menjamin seseorang akan hidup dalam satu jam berikutnya. Tiap hari, kita menyaksikan kematian orang lain di sekitarnya kita tetapi terkadang kita tidak memikirkan tentang hari ketika orang lain menyaksikan kematian kita.
Ketika kematian datang menjemput, semua “kenyataan” dalam hidup tiba-tiba lenyap. Tidak ada lagi kenangan akan “hari-hari indah” di dunia ini.
Dimulai saat kita menghembuskan napas untuk yang terakhir kalinya, kita tidak ada apa-apanya lagi selain “seonggok daging”. Tubuh kita yang diam dan terbujur kaku, akan dibawa ke kamar mayat. Di sana, kita akan dimandikan untuk yang terakhir kalinya. Dengan dibungkus kain kafan, jenazah kita akan di bawa ke kuburan dalam sebuah peti mati. Sesudah itu dimasukkan ke dalam liang lahat, maka tanah akan menutupi kita. Tamat sudah cerita tentang kita. Mulai saat itu, kita hanyalah seseorang yang namanya terukir pada batu nisan di kuburan.
Selama bulan-bulan atau tahun-tahun pertama, kuburan kita sering dikunjungi. Seiring dengan berlalunya waktu, hanya sedikit orang yang datang. Beberapa tahun kemudian, tidak seorang pun yang datang mengunjungi.
Sementara itu, keluarga dekat kita akan mengalami kehidupan yang berbeda yang disebabkan oleh kematian kita. Di rumah, ruang dan tempat tidur kita akan kosong. Setelah pemakaman, sebagian barang-barang milik kita akan disimpan di rumah: baju, sepatu, dan lain-lain yang dulu menjadi milik kita akan diberikan kepada mereka yang memerlukannya. Berkas-berkas di kantor akan dibuang atau diarsipkan.
Selama tahun-tahun pertama, beberapa orang masih berkabung akan kepergian kita. Namun, waktu akan mempengaruhi ingatan-ingatan mereka terhadap masa lalu. Empat atau lima dasawarsa kemudian, hanya sedikit orang saja yang masih mengenang kita. Tak lama lagi, generasi baru muncul dan tidak seorang pun dari generasi kita yang masih hidup di muka bumi ini. Apakah kita diingat orang atau tidak, hal tersebut tidak ada gunanya dan tidak akan berpengaruh bagi kita.
Sementara semua hal ini terjadi di dunia, jenazah kita yang ditimbun tanah akan mengalami proses pembusukan yang cepat. sehingga seluruh tubuh kita menjadi kerangka.
Tidak ada kesempatan untuk kembali kepada kehidupan yang sebelumnya. Berkumpul bersama keluarga di meja makan, bersosialisasi atau memiliki pekerjaan yang terhormat; semuanya tidak akan mungkin terjadi.
Singkatnya, “onggokkan daging dan tulang” yang tadinya dapat dikenali; mengalami akhir yang menjijikkan. Di lain pihak, kita – atau lebih tepatnya, jiwa kita – akan meninggalkan tubuh ini segera setelah nafas kita berakhir. Sedangkan sisanya – berupa jasad kita – akan menjadi bagian dari tanah.
Ya, tetapi apa alasan semua hal ini terjadi?
Seandainya Allah ingin, tubuh ini dapat saja tidak membusuk seperti kejadian di atas. Tetapi hal ini justru menyimpan suatu pesan tersembunyi yang sangat penting.
Akhir kehidupan yang sangat dahsyat yang menunggu kita, seharusnya menyadarkan kita bahwa apa yang ada dalam diri kita bukanlah hanya tubuh semata, melainkan jiwa yang “dibungkus” dalam tubuh. Dengan kata lain, kita harus menyadari bahwa ada eksistensi yang lain di luar tubuh kita.
Walaupun setelah melihat kenyataan-kenyataan ini, ternyata mental kita cenderung untuk tidak peduli terhadap hal-hal yang kia tidak disukai atau ingini. Bahkan kita cenderung untuk menafikan eksistensi sesuatu yang kita hindari pertemuannya. Kecenderungan seperti ini tampak terlihat jelas sekali ketika membicarakan kematian. Hanya pemakaman atau kematian tiba-tiba keluarga dekat sajalah yang terkadang dapat mengingatkan kita akan kematian.
Kebanyakan orang melihat kematian itu jauh dari diri mereka. Asumsi yang menyatakan bahwa mereka yang mati pada saat sedang tidur atau karena kecelakaan merupakan orang lain; dan apa yang orang lain alami tidak akan menimpa diri mereka! Semua orang berpikiran, belum saatnya mati dan mereka selalu berpikir selalu masih ada hari esok untuk hidup.
Bahkan mungkin saja, orang yang meninggal dalam perjalanannya ke sekolah atau terburu-buru untuk menghadiri rapat di kantornya juga berpikiran serupa. Tidak pernah terpikirkan oleh mereka bahwa koran esok hari akan memberitakan kematian mereka. Sangat mungkin, selagi anda membaca artikel ini, anda berharap untuk tidak meninggal setelah anda menyelesaikan membacanya.
Mungkin anda merasa bahwa saat ini belum waktunya mati karena masih banyak hal-hal yang harus diselesaikan. Namun demikian, hal ini hanyalah alasan untuk menghindari kematian dan usaha-usaha seperti ini hanyalah hal yang sia-sia untuk menghindarinya:
Katakanlah: “Lari itu sekali-kali tidaklah berguna bagimu, jika kamu melarikan diri dari kematian atau pembunuhan, dan jika (kamu terhindar dari kematian) kamu tidak juga akan mengecap kesenangan kecuali sebentar saja.” (QS. 33:16)
Manusia yang diciptakan seorang diri haruslah waspada bahwa ia juga akan mati seorang diri. Namun selama hidupnya, ia hampir selalu hidup untuk memenuhi segala keinginannya. Tujuan utamanya dalam hidup adalah untuk memenuhi hawa nafsunya. Namun, tidak seorang pun dapat membawa harta bendanya ke dalam kuburan. Jenazah dikuburkan hanya dengan dibungkus kain kafan yang dibuat dari bahan yang murah. Tubuh datang ke dunia ini seorang diri dan pergi darinya pun dengan cara yang sama. Modal yang dapat di bawa seseorang ketika mati hanyalah amal-amalnya saja.
Bahan rujukan :harunyahya.com
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori
Pencerahan
/
Tauziyah
dengan judul
THE LESSONS FROM DEATH
. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL
http://sisatruk.blogspot.com/2009/07/the-lessons-from-death.html
.
Artikel Terkait Pencerahan , Tauziyah
Ditulis oleh:
Pramudya Ksatria Budiman
-
Rating : 4.5
Belum ada komentar untuk " THE LESSONS FROM DEATH "
Post a Comment
Beri komentar anda.