Televisi adalah salah satu media hiburan dan informasi yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat kita. Kemampuan audiovisual telah membuat televisi unggul dibanding dengan media informasi lainnya. Namun kita perlu khawatir berkenaan dengan dampak negatif televisi. Melalui acara-acara yang miskin akan unsur edukatif, nilai-nilai buruk yang jauh dari standar moralitas dapat tertanam pada diri para pemirsa.
Para industrialis media televisi rupanya meyakini bahwa sebagian besar penonton televisi di Indonesia adalah insan yang haus akan berita dan sekaligus hiburan. Maka lahirlah sebuah genre jurnalisme televisi yang bertitel jurnalisme infotainment. Gaya pemberitaan ini merupakan paduan antara informasi dan hiburan yang terbukti ampuh untuk merebut hati para pemirsanya.
Infotainment merupakan paduan dua kata, yaitu informasi dan entertainment . Asumsi di balik kata ini adalah apa yang ditawarkan ke publik tidak sekadar informasi, tapi sedapat mungkin bisa menghibur. Bahkan aspek hiburan sering dikedepankan daripada tujuan dari informasi itu sendiri. Apa yang dikedepankan dari infotainment adalah sisi sensasional sebuah tayangan bukan kedalaman informasi, edukasi, dan kepentingan publik.
Namun Sepertinya sebentar lagi tidak ada suara renyah menyapa dengan kasak-kusuk yang khas di televisi tentang rumah tangga maupun kehidupan artis. Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram untuk tayangan infotainment, baik bagi televisi yang menayangkan maupun permisa yang menontonnya.
Fatwa tersebut disahkan dalam pleno MUI dalam Musyawarah Nasional (Munas) di Jakarta, Selasa (27/7), oleh Ketua Komisi Fatwa MUI, KH Ma’ruf Amin. Menurut ketentuan umum fatwa mengenai infotainment, menceritakan aib, kejelekan gosip, dan hal lain terkait pribadi kepada orang lain dan atau khalayak, hukumnya haram.
Dalam rumusan fatwa itu juga disebutkan bahwa upaya membuat berita yang mengorek dan membeberkan aib, kejelekan gosip juga haram, termasuk yang mengambil keuntungan dari berita yang berisi aib dan gosip.
Sementara menayangkan, menyiarkan, menonton, membaca, dan atau mendengarkan berita yang berisi tentang aib diperbolehkan jika ada pertimbangan yang dibenarkan secara syar’i. “Seperti untuk kepentingan penegakan hukum, memberantas kemungkaran, menyampaikan pengaduan, meminta pertolongan, atau meminta fatwa hukum,” ungkap Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Saleh saat jumpa pers di Hotel Twin Plaza, Jl S Parman, Jakarta Barat, Selasa (27/7).
“Fatwa infotainment dibuat didasarkan pemberitaan saat ini yang dirasa sudah berlebihan,” kata KH Ma’ruf. Sebelumnya infotainment tidak masuk dalam pembahasan, namun karena banyaknya permintaan untuk pembahasan itu maka diputuskan untuk dibahas.
MUI merekomendasikan perlu dirumuskan aturan untuk mencegah konten tayangan yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan dan nilai luhur kemanusiaan. “Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) harus membuat regulasi tayangan infotainment agar masyarakat memperoleh tayangan bermutu. LSF juga harus mengambil langkah proaktif untuk menyensor tayangan infotainment,” kata Niam.
Data pemberian teguran KPI terkait program yang disiarkan televisi sepanjang Juni 2010 mencatat ada 47 teguran. Tayangan infotainment dan reality show menempati peringkat pertama. Menurut Ketua KPI, Dadang Hidayat beberapa waktu lalu, teguran ini lebih sedikit dibanding dengan teguran yang dilayangkan pada periode sebelumnya. Sementara itu, terkait pengaduan masyarakat, tayangan infotainment juga menduduki tempat pertama.